Dari Redaksi
Salam jabat tangan paling hangat.
Puji sukur atas karunia sehat dan kesempatan yang Tuhan berikan kepada sekalian hambaNya. Puji sukur kepadaNya atas daya-upaya dan kebesaran hati kami dan rekan-rekan untuk menerbitkan Buletin SAJAK ini untuk kali pertama. Selanjutnya kami sampaikan pula permohonan maaf atas keterlambatan ini. Sehubungan dengan satu dua hal, rencana yang sebelumnya terbitan perdana akan dilakukan pada tanggal 15 maret 2011, dengan tidak mengurangi semangat, Redaksi memutuskan untuk menundanya hingga akhir bulan dan itu berlaku pula untuk terbitan-terbitan berikutnya. Sekali lagi mohon maaf dan harap maklum adanya.
Beberapa informasi yang kiranya penting untuk disampaikan bahwa puji sukur Buletin ini ternyata mendapat sambutan dan respon baik dari rekan-rekan di berbagai wilayah, terlebih mereka yang telah sudi mengirimkan tulisannya dan bagi tulisan yang belum dimuat tetap akan dipertimbangkan pada terbitan selanjutnya. Kemudian perlu kami sampaikan juga bahwa isi keseluruhan Buletin ini pada setiap terbitannya oleh Redaksi disebar pula kepada khalayak via email dalam bentuk soft copy, terlebih kepada penyumbang tulisan baik telah dan atu pun belum dimuat. Hal ini dilakukan tidak lain sebagai salah satu upaya Redaksi untuk lebih efektif dalam mempublikasikannya.
Adapun materi Tukar Pikiran yang akan datang adalah Sajak Matroni el-Moezany “LAGU SEORANG SKEPTIS”. Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan. Terima kasih. Mari berjuang!
Salam jabat tangan paling hangat.
Redaksi, 31 Maret 2011
Bona P. Silaban
Rabu, 30 Maret 2011
SIULAN
Sajak-Sajak Matroni el-Moezany
Matroni el-Moezany, Penyair keliharan Sumenep, Madura, bergiat di komunitas Kutub Yogyakarta. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (Obsesi Press, 2010) “Madzhab Kutub” (Pustaka Pujangga, 2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini Pengok, Demangan, Yogyakarta.
LAGU SEORANG SKEPTIS
Engkau melangkah jauh, sayang
Engkau mandi keraguan
Aku di sini sendiri
Menyandang jembatan, berbendera masa depan
Di antara mesin-mesin di kota Jogja
Engkau berkerudung putih di kepalamu
Engkau ciptakan suatu keindahan dari jauh
Sementara mesin penindas terdengar berderuh
Malam bermandikan cahaya pikir
Kegelapan menyelimuti badan keangkuhan
Engkau tetap menjadi pelangi melingkari matahari
Tatapanku habis
Terlalu silau melihatmu dari jauh
Di saat seperti itu
Engkau memikirkan sesuatu
Bersama ilmu yang engkau dapatkan dulu
Di dalam berjuang membela kerajaanmu
2011
BELAIAN TAHAJJUD MALAM
Belaian malam menggigil
Mengusap tubuhmu
Mengusap wajahku
Di sajadah panjang kedamaian
Sikap malam begitu sunyi
Memanggilku untuk pergi ke cakrawala
Melihat pesta bintang
Dengan beribu cahaya
Dan senyum manis yang menggetarkan
Aku suka mereka, dia dan aku
Sepasang waktu
Kuajak ia pergi
Mengisi tahajjud malam
Membelam kelam malam
Untuk menutupi pintu semesta
Yang kian hari tambah lebar
Dengan hidup kurang ajar
Padahal aku masih belajar mencintaimu
04 Januari 2011
NASEHAT MALAM
Engkau tinggal separuh perjalanan
Sepantasnya ruang dirimu menjadi rumah kesejukan
Membuat generasi lebih indah
Menanam modal kebermaknaan
Mengisi waktu kehampaan dengan cahaya
Separuhmu jangan sampai larut
Aku berkata, karena aku bagian dari dirimu
Selebihnya engkau berdiri sendiri di tepi sana
Melukis hidupmu lebih indah
Membelanjakan kata untuk masa depanmu
Pengok, 2011
Sajak-sajak Moh. Ghufron Cholid
Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465. Karya-karya lainnya bisa dibaca di mohghufroncholid.blogspot.com dan media online lainnya.
KAU BERBARING ISTIMEWA
: Alm. K. Tajul Anwar
Kau berbaring istimewa
Tanah-tanah meraung doa
Keranda masa kau berikan setia
Rambu jalan bunga-bunga
Kamar Hati,2011
MANDI AIRMATA DOA
: KH. Moh. Idris Jauhari
Mandi airmata doa
Ingin kutuntaskan semua
Manik-manik rasa
Membatik di kain masa
Melukis segala surga
Yang pernah kita tata
Mandi airmata doa
Kumau kau tegak sediakala
Berbagi cahaya ridla
Karunia Maha Cinta
Kamar Hati,13 Februari 2011
MEMAKNAI MAULID NABI
Gunung-gunung shalawat
Menyangga langit nubuat
Ayat-ayat i'tiraf
Adalah burung-burung ababil
Menyulap tentara-tentara gajah
Semisal daun-daun dimakan ulat bergairah
Kamar Hati,12 Rabiul Awal 1432 H
Sajak-sajak Ghulam Sy.
Ghulam Syahril Mubarok, Lahir di Lamongan 17 Maret 1991. Aktif dalam diskusi sastra yang didapuk oleh Sastrawan kota tersebut; sebut saja, Herry Lamongan, Pringgo HR, Alang Khoiruddin dan A. Zaini, juga di Sanggar Sastra Telaga Biru. karya-karyanya berhasil dimuat dalam majalah-majalah lokal seperti, Aliqroh, SENYum, Radar Bojonegoro, RAIB, dll. Yang sempat terbukukan bersama penyair muda Lamongan, Daun-daun Luruh (DKL, 2008), Diktat Kejam (ErEm Press, 2007), dan GSFI: Estuari Sastra Indonesia (Inspirations Publiser, 2011).
CERITA BUSUNG
Tumpukan kitab-kitab di sampingmu itu
Pena biru yang menimpali kitab-kitab
Dan songkok hitam pekat seperti malam kehilanganmu
Semua kau taruh di atas nampan yang longgar
Layaknya penganan enteng saja
Adalah sebuah tanda malam yang kau selingkuhi dengan niatmu
Untuk menumbuhkan sebaris tulisan yang berkilau
Halah, itu kan ceritacerita busung yang kau racik waktu itu
Padahal sebelumnya kau niatkan segala untuk menyemaikan langkah kosongmu
Hidupmu hanyalah keangkuhanmu
Dan senyum yang pernah kau lempar itu,
Juga hanya senyum yang kosong
Yang begitu indah kau rangkai untuk menimpali lelakumu
Kau mulai menuliskan sederet katakata yang terlupa
Meninjuku pada heran yang tak berpulang pada tepi
Sebab, ternyata kau masih juga pongah
Seperti pada ceritacerita busung
KUTUNGGU SAPAMU
Adalah desiran nafas keluhanku
Saat detik tak bisa kutelaah selepas pertemuan itu
Dan pergimu merupakan pesakitanku yang ranum
Jika waktu itu kau kembali tuk melangsungkan percakapan kecil
Mungkin kini aku tak sederita ini, derita yang terangkum dalam album kerinduan
Dari seruanku yang tajam, masih juga hatimu tak tersayat,
Bahkan sampai potongan surat-surat kecil yang menjerit,
Yang dulu sempat kukirimkan padamu itu, kau malah mengabai lebai
Bangunkan hatimu dengan cerita lalu yang mempesona,
Seperti kau menuliskan namamunamaku di sudut batu nisan yang terdiam mematung
Di simpang jl. Ahmad Yani no. 25 kutunggu sapamu
Sapa yang telah lama tak kunjung kau tanam juga
Sapa dzikir rerindu sebagai pelafalan cinta
di ujung rinduku yang mengkerut
Kutunggu sapamu
EPISODE
Cerpen Mieny Angel
Mieny Angel, kelahiran Gunungkidul 23 Februari 1989. Mempunyai nama asli Tri Darmini. Perempuan yang insyaAllah akan senantiasa belajar dalam hidupnya. Mencintai dunia tulis menulis sejak SMA, sempat vakum dan memulai menulis lagi akhir 2010. Alhamdulilah, sejak saat itu karyanya diakui banyak publik. Salah satu cita-citanya adalah menjadi seorang penulis yang bermanfaat untuk semua. Beberapa coretannya bisa diintip di rumah pribadinya http://tridarmini.blogspot.com/ Bisa disapa di twitter @mieny_angel juga email: mieny_angel@yahoo.com
KEPADA HUJAN KUKIRIM RINDU
:MJ, yang selalu mengingatku lewat hujan.
Lagi, hujan membasahi pelataran rumahku. Dari balik kaca jendela aku dapat menyaksikan butiran kristal air yang saling berjatuhan. Bebas, luruh, jatuh meresap ke tanah, menguap jikalau mentari muncul. Menjadikannya awan lalu kembali hujan, dan begitu seterusnya. Lagi dan lagi berulang.
Hujan. Ah, ini sudah tiga hari hujan berturut-turut menamani pagiku. Aku hanya akan menikmati hujan dari balik jendela, saja. Sebab tak mungkin aku berlari menerjangnya di pelataran rumahku. Dalam kenyataannya aku ingin menegadahkan tangan dan membiarkan tubuh ini basah oleh terpaan hujan. Aku ingin seperti itu, tapi tidak. Aku tidak bisa seperti itu, lagi.
Aku adalah gadis pencinta hujan, dulu bahkan sampai detik ini. Hujan akan menghapus air mataku sesegera mungkin. Aku dulu adalah seorang yang lemah, mungkin sampai detik ini. Aku adalah seorang yang selalu kalah diperolok oleh teman-teman sekolahku. Namun keadaan saat itu lebih menguntungkan dari detik ini.
Dan ketika aku menangis, langit pun seakan ikut menangis, mengirimkan hujan untuk menemaniku. Membasuh air mata di pipiku. Aku akan pura-pura bermain hujan untuk menyembunyikan air mataku. Membiarkannya jatuh bersama dengan butiran hujan.
Ah, aku cinta hujan.
Hujan yang dulu dan hujan hari ini masih sama bagiku. Sahabat dalam kesendirianku.
Aku beranjak dari jendela menuju meja riasku. Sebuah foto manis terpampang di dalam bingkai. Dua orang manusia, aku jelas mengenali siapa itu. Seorang pria mengenakan batik merah dan seorang gadis memakai batik coklat, terusan. Pria itu tak lain adalah sahabatku, Januar. Sedang sebelahnya itu adalah aku. Ya, aku ingat dengan jelas itu adalah fotoku dan dia tiga tahun yang lalu. Itulah dimana pertama kali aku dan dia saling jumpa. Lagi, dan lagi-lagi perjumpaan itu ditemani oleh sang hujan.
“Mimin.” Sapanya saat itu.
“Januar. Ini beneran kamu?”
“Kamu pikir?”
Aku tak akan melupakannya. Tak akan. Persahabatanku dengannya memang telah lama tercipta namun baru sekali itu aku dan dia bertatap muka. Kami adalah seorang yang sama-sama mencintai hujan. Entah apa sebabnya, semakin hari hubungan kami makin akrab. Tak jarang jika hujan datang kami akan saling memikirkan dan seakan ada ikatan batin, walau terbentang jarang berpuluh kilau komunikasi kami tetap jalan.
Seperti suatu sore sebelum hari ini, masih susana hujan dia ber-sms padaku: “Kala butir air langit menepuk debu, masihkah kau mengingatku?”
Tak perlu kujawab. Aku tahu maksudmu. Januar aku akan selalu mengingatmu.
Lagi, bingkai foto kuajak mendekati jendela. Manikmati hujan yang lebat bersama angin yang sedikit ganas. Mengombang-ambingkan pohon mangga di halaman rumahku.
“Januar, kamu tahu gak? Aku lagi bermain bersama bulir air langit, aku bersama hujan.” Kataku lirih sambil menatap hujan dan foto dalam tanganku bergantian. Sementara jari telunjukku mengelus foto dalam bingkai itu.
“Aku rindu kamu Januar. Kita telah lama tak jumpa. Kamu tahu gak? Jika hujan turun, air mataku pun ikut menetes. Entah sejak kapan aku menjadi wanita yang cengeng makin cengeng.” Bulir hangat air mata mulai membasahi pipiku.
Aku ingin sekali detik ini pula aku berlari, memeluk hujan. Aku bisa.
Hujan, kenapa aku harus menyimpan rindu padanya?
Hujan, kenapa pula kau menyatukan kami?
Hujan, oh hujan kapan kau mempertemukanku lagi dengannya?
Hujan, aku mencintaimu juga sahabatku.
Secarik kertas kutarik tak lupa tinta kugenggam.
“Januar, aku akan tuliskan sebuah puisi lagi. Satu puisi lagi pagi ini maka genap1095 puisi. Itu berarti 1095 hari, alias tiga tahun.” Ucapku sambil senyum menatap foto.
Setelah pertemuan pertama, tiga tahun yang lalu, aku selalu menuliskan sehari satu puisi. Puisi khusus untuknya. Aku telah berikrar janji pada diriku sendiri dan hujan kalau suatu hari nanti aku dipertemukan dengannya, akan kuserahkan sebendel puisi untuknya. Puisi hujan pengobat rinduku.
BENING HUJAN
Hujan kembali menemaniku
Menarik otakku untuk memikirkan tentangmu(lagi)
Dalam tiap bulir tetes hujan yang tumpah
Ada satu pengharapan untukmu
Ku dapat melihat bayanganmu
Pada setiap air yang terjebak di dedaunan
Engkau tersenyum dan melambaikan tangan
Hujan telah menyatu dalam tubuhmu,tubuhku dan kisah kita
Begitu rencana-Nya
Merekatkan jiwa kita lewat hujan
-Mieny Angel
Aku tersenyum puas. Akhirnya 1095 puisi selesai pagi ini. Hujan pun seketika berhenti. Kenapa? Padahal aku masih berharap hujan turun lagi. Aku masih merindukannya.
“Berjanjilan padaku!” kata dia saat pertama kita bertemu.
“Tentang?”
“Rindumu akan kau titipkan pada hujan.” Aku tersenyum, tersipu mendengarnya.
“Berjanjilah kau akan merindukanku!”
“Kenapa kau seyakin itu?”
“Karena aku akan jauh.”
“Kenapa harus bersama hujan aku titip rindu?”
“Karena hujan adalah lem perekat kita.”
“Aku tak akan merindukanmu, Januar.”
“Kau akan merindukanku, Mimin. Hujan akan mengingatkan bahwa ada satu nyawa yang kau rindu. Jauh dalam lubuk hatimu kau akan meronta untuk sebuah kerinduan.”
Benar. Semua perkataan dia saat itu benar. Aku benar merindukan satu nyawa, itu adalah dia, Januar sahabatku. Dan ketika hujan tiba, rindu itu makin mencekik hatiku, kuat.
Andai keadaan tak seperti ini, aku pastikan hari ini aku di dekatnya. Menjemputnya di bandara. Tapi tidak. Maafkan aku, aku tak bisa menjemput kepulanganmu dari Perancis seperti janjiku saat pertama kali kita bertemu dan saat perpisahan denganmu tiga tahun yang lalu.
Keadaan kita telah berbeda.
Dia telah menjadi seorang Master Desainer handal seperti mimpinya terbang ke Perancis. Sedang aku, andai saja dia tahu. Mungkin sebaiknya dia tak pernah tahu.
Aku bangkit dari jendela. Duduk manis di kursi roda hendak menyaksikan bayangannya di dalam air yang terjebak di daun mangkukan.
Kursi roda ini adalah alasan semuanya. Kukubur semua rinduku padanya. Kecelakaan di pertemuan pertama itu telah membuat dua kakiku lumpuh. Aku tak sanggup menemuinya dalam keadaan seperti ini.
Aku hanya mampu terus merindukannya.
Dan kepada engkau hujan kutitipkan rinduku untukmu. Kirimkan rinduku selalu bersama bulir air langit yang menepuk debu.
Wonosari, Maret 28.2011 / 22.36
Mieny Angel, kelahiran Gunungkidul 23 Februari 1989. Mempunyai nama asli Tri Darmini. Perempuan yang insyaAllah akan senantiasa belajar dalam hidupnya. Mencintai dunia tulis menulis sejak SMA, sempat vakum dan memulai menulis lagi akhir 2010. Alhamdulilah, sejak saat itu karyanya diakui banyak publik. Salah satu cita-citanya adalah menjadi seorang penulis yang bermanfaat untuk semua. Beberapa coretannya bisa diintip di rumah pribadinya http://tridarmini.blogspot.com/ Bisa disapa di twitter @mieny_angel juga email: mieny_angel@yahoo.com
KEPADA HUJAN KUKIRIM RINDU
:MJ, yang selalu mengingatku lewat hujan.
Lagi, hujan membasahi pelataran rumahku. Dari balik kaca jendela aku dapat menyaksikan butiran kristal air yang saling berjatuhan. Bebas, luruh, jatuh meresap ke tanah, menguap jikalau mentari muncul. Menjadikannya awan lalu kembali hujan, dan begitu seterusnya. Lagi dan lagi berulang.
Hujan. Ah, ini sudah tiga hari hujan berturut-turut menamani pagiku. Aku hanya akan menikmati hujan dari balik jendela, saja. Sebab tak mungkin aku berlari menerjangnya di pelataran rumahku. Dalam kenyataannya aku ingin menegadahkan tangan dan membiarkan tubuh ini basah oleh terpaan hujan. Aku ingin seperti itu, tapi tidak. Aku tidak bisa seperti itu, lagi.
Aku adalah gadis pencinta hujan, dulu bahkan sampai detik ini. Hujan akan menghapus air mataku sesegera mungkin. Aku dulu adalah seorang yang lemah, mungkin sampai detik ini. Aku adalah seorang yang selalu kalah diperolok oleh teman-teman sekolahku. Namun keadaan saat itu lebih menguntungkan dari detik ini.
Dan ketika aku menangis, langit pun seakan ikut menangis, mengirimkan hujan untuk menemaniku. Membasuh air mata di pipiku. Aku akan pura-pura bermain hujan untuk menyembunyikan air mataku. Membiarkannya jatuh bersama dengan butiran hujan.
Ah, aku cinta hujan.
Hujan yang dulu dan hujan hari ini masih sama bagiku. Sahabat dalam kesendirianku.
Aku beranjak dari jendela menuju meja riasku. Sebuah foto manis terpampang di dalam bingkai. Dua orang manusia, aku jelas mengenali siapa itu. Seorang pria mengenakan batik merah dan seorang gadis memakai batik coklat, terusan. Pria itu tak lain adalah sahabatku, Januar. Sedang sebelahnya itu adalah aku. Ya, aku ingat dengan jelas itu adalah fotoku dan dia tiga tahun yang lalu. Itulah dimana pertama kali aku dan dia saling jumpa. Lagi, dan lagi-lagi perjumpaan itu ditemani oleh sang hujan.
“Mimin.” Sapanya saat itu.
“Januar. Ini beneran kamu?”
“Kamu pikir?”
Aku tak akan melupakannya. Tak akan. Persahabatanku dengannya memang telah lama tercipta namun baru sekali itu aku dan dia bertatap muka. Kami adalah seorang yang sama-sama mencintai hujan. Entah apa sebabnya, semakin hari hubungan kami makin akrab. Tak jarang jika hujan datang kami akan saling memikirkan dan seakan ada ikatan batin, walau terbentang jarang berpuluh kilau komunikasi kami tetap jalan.
Seperti suatu sore sebelum hari ini, masih susana hujan dia ber-sms padaku: “Kala butir air langit menepuk debu, masihkah kau mengingatku?”
Tak perlu kujawab. Aku tahu maksudmu. Januar aku akan selalu mengingatmu.
Lagi, bingkai foto kuajak mendekati jendela. Manikmati hujan yang lebat bersama angin yang sedikit ganas. Mengombang-ambingkan pohon mangga di halaman rumahku.
“Januar, kamu tahu gak? Aku lagi bermain bersama bulir air langit, aku bersama hujan.” Kataku lirih sambil menatap hujan dan foto dalam tanganku bergantian. Sementara jari telunjukku mengelus foto dalam bingkai itu.
“Aku rindu kamu Januar. Kita telah lama tak jumpa. Kamu tahu gak? Jika hujan turun, air mataku pun ikut menetes. Entah sejak kapan aku menjadi wanita yang cengeng makin cengeng.” Bulir hangat air mata mulai membasahi pipiku.
Aku ingin sekali detik ini pula aku berlari, memeluk hujan. Aku bisa.
Hujan, kenapa aku harus menyimpan rindu padanya?
Hujan, kenapa pula kau menyatukan kami?
Hujan, oh hujan kapan kau mempertemukanku lagi dengannya?
Hujan, aku mencintaimu juga sahabatku.
Secarik kertas kutarik tak lupa tinta kugenggam.
“Januar, aku akan tuliskan sebuah puisi lagi. Satu puisi lagi pagi ini maka genap1095 puisi. Itu berarti 1095 hari, alias tiga tahun.” Ucapku sambil senyum menatap foto.
Setelah pertemuan pertama, tiga tahun yang lalu, aku selalu menuliskan sehari satu puisi. Puisi khusus untuknya. Aku telah berikrar janji pada diriku sendiri dan hujan kalau suatu hari nanti aku dipertemukan dengannya, akan kuserahkan sebendel puisi untuknya. Puisi hujan pengobat rinduku.
BENING HUJAN
Hujan kembali menemaniku
Menarik otakku untuk memikirkan tentangmu(lagi)
Dalam tiap bulir tetes hujan yang tumpah
Ada satu pengharapan untukmu
Ku dapat melihat bayanganmu
Pada setiap air yang terjebak di dedaunan
Engkau tersenyum dan melambaikan tangan
Hujan telah menyatu dalam tubuhmu,tubuhku dan kisah kita
Begitu rencana-Nya
Merekatkan jiwa kita lewat hujan
-Mieny Angel
Aku tersenyum puas. Akhirnya 1095 puisi selesai pagi ini. Hujan pun seketika berhenti. Kenapa? Padahal aku masih berharap hujan turun lagi. Aku masih merindukannya.
“Berjanjilan padaku!” kata dia saat pertama kita bertemu.
“Tentang?”
“Rindumu akan kau titipkan pada hujan.” Aku tersenyum, tersipu mendengarnya.
“Berjanjilah kau akan merindukanku!”
“Kenapa kau seyakin itu?”
“Karena aku akan jauh.”
“Kenapa harus bersama hujan aku titip rindu?”
“Karena hujan adalah lem perekat kita.”
“Aku tak akan merindukanmu, Januar.”
“Kau akan merindukanku, Mimin. Hujan akan mengingatkan bahwa ada satu nyawa yang kau rindu. Jauh dalam lubuk hatimu kau akan meronta untuk sebuah kerinduan.”
Benar. Semua perkataan dia saat itu benar. Aku benar merindukan satu nyawa, itu adalah dia, Januar sahabatku. Dan ketika hujan tiba, rindu itu makin mencekik hatiku, kuat.
Andai keadaan tak seperti ini, aku pastikan hari ini aku di dekatnya. Menjemputnya di bandara. Tapi tidak. Maafkan aku, aku tak bisa menjemput kepulanganmu dari Perancis seperti janjiku saat pertama kali kita bertemu dan saat perpisahan denganmu tiga tahun yang lalu.
Keadaan kita telah berbeda.
Dia telah menjadi seorang Master Desainer handal seperti mimpinya terbang ke Perancis. Sedang aku, andai saja dia tahu. Mungkin sebaiknya dia tak pernah tahu.
Aku bangkit dari jendela. Duduk manis di kursi roda hendak menyaksikan bayangannya di dalam air yang terjebak di daun mangkukan.
Kursi roda ini adalah alasan semuanya. Kukubur semua rinduku padanya. Kecelakaan di pertemuan pertama itu telah membuat dua kakiku lumpuh. Aku tak sanggup menemuinya dalam keadaan seperti ini.
Aku hanya mampu terus merindukannya.
Dan kepada engkau hujan kutitipkan rinduku untukmu. Kirimkan rinduku selalu bersama bulir air langit yang menepuk debu.
Wonosari, Maret 28.2011 / 22.36
RE-WORD
Esai Sipulan K. Langka
Sipulan K. Langka, Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura.
‘DILARANG KENCING DI SINI !’
Tak perlu pura-pura merasa aneh sebab sekedar geleng-geleng kepala tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Barangkali hanya patut prihatin dan itu pun entah apa maknanya bila hanya disampaikan sebagai ucapan ‘bela sungkawa’, tanpa upaya.
Di tengah kedongkolan atas persoalan-persolan yang membelit Negeri ini; persoalan yang muncul dari persoalan, persoalan yang sengaja ditimbulkan, dan persoalan yang tidak selesai-selesai, kerap kali saya mengira inilah mengapa banyak orang lain menimbang kita adalah bangsa yang berjalan di tempat. Atau jangan-jangan malah mundur? Tetapi tentu itu sudah omong ‘basi’ yang (bahkan seolah) kita dengar sejak masih dikandung Ibu.
Atas persoalan itu maka beruntunglah para sineas yang kreatif dengan tidak hanya memamfaatkannya sebagai lumbung penghasilan tetapi juga berusaha mendidik orang lain dengan karya-karyanya, menggugah kesadaran dan menggelitik mereka yang merasa menjadi objek cerita betapa pun belakangan ini mereka acuh dan menganggap itu justru sebagai hiburan belaka. Tentu apresiasi terhadap karya-karya semacam itu selayaknya diacungi jempol dan mendapat tepuk tangan paling meriah.
Tak berlebihan bila bangsa ini disebut butuh terhadap tayangan-tayangan yang mencerdaskan, yang mengajak mereka berfikir ketika menontonnya dan memberi inspirasi. Lagipula ini akhirnya menjadi alternatif bagaimana kita dengan mudah mengetahui dan memahami fenomena yang sedang melanda Negeri kita sendiri, memahami sejarah, juga peradaban sebagai bangsa yang berbudaya. Juga tidak berlebihan jika media (dalam hal ini) televisi disebut mutlak melakukannya, seyogyanya.
Heh, Tapi lihatlah yang terjadi belakangan ini. Begitu remot dipencet, begitu layar dibuka di bioskop misalnya, mata kita dipaksa melotot kepada -maaf– ketiak dan selangkangan yang diumbar-obral tanpa motivasi kecuali daya tarik sensualitas belaka. Tentu tidak semua, tetapi dengan berat hati harus diakui bahwa itu telah menjadi tren masa kini di Negeri ini.
Sementara di luar sana, mereka bersaing siapa paling kreatif, paling imajinatif, paling wah dan paling diterima oleh khalayak. Kita di sini dipaksa menerima tayangan dari ide-ide yang hanya berujung pada finansial, ketenaran, dan sejenisnya. Entah moral nyangkut dimana, wibawa sebagai bangsa yang berbudaya?
Walah publik figur kok sampek segitunya, bangun tidur saja sampek diurus, pake baju ini, pake sabun itu. Seneng miara kucing atau anjing toh apa istimewanya? Curhat rumah tangga kok di telivisi, lah mending baik, wong itu lagi berantem. Bilangnya ngikutin pangsa pasar,Ya ya gimana orang tidak suka wong sudah kebiasaan dari kecil, sampe-sampe orang kampung nun jauh di pelosok sana ribut soal sinetron yang bintang kesayangannya dianiaya. Gara-gara pertimbangan pasar pula rame-rame mereka bikin film yang katanya bergenre horor,pas ditonton, serem kagak, (maaf) mesum iya. Sekedar omong ringan, beberapa waktu lalu, warga Gunung Kidul ‘ngmuk’ gara-gara merasa dilecehkan oleh film horor yang dianggap sarat tahayul dan adegan sensual.
Dari fenomena itu akhirnya kesan yang ditimbulkan pun seolah mereka sudah kehabisan ide kreatif, padahal ini hanya persoalan sikap dan itikat baik dalam membangun. Bila orientasinya hanya pasar dan itu artinya uang, yang ada hanyalah pernyataan tidak langsung “apa peduli saya”. Sehingga Yang terjadi kemudian adalah mereka diciptakan oleh pasar bukan menciptakan pasar. Inilah sesungguhnya masalah utama yang membuat khalayak terlanjur menyenangi tayangan-tayangan ‘berbahaya’ itu.
Tak jarang ditemukan pada sinetron misalnya, kualitas cerita tak lagi menjadi pertimbangan ketika menggarapnya. Yang paling penting hanyalah seorang pemeran punya sesuatu yang ‘menjual’, lebih-lebih menyangkut fisik. Mereka tak perlu susah-susah belajar atau sekolah kesenian kalau hanya butuh adegan nangis dan tertawa. Kondisi ini makin diperparah dengan pola Kejar Tayang.
Bangsa Indonesia seharusnya bisa memamfaatkan peluang yang terbuka lebar di hadapan mereka. Soal ide, bagaimana mungkin kita kehabisan stok cerita ditengah berjimbunnya para penulis yang dari segi kualitas tak kalah hebat dari orang luar sana. Seorang pakar bahkan sempat menegaskan, di suatu daerah di Indonesia, pertumbuhan penulis sama halnya dengan rumput kala musim hujan.
Memang, hal ini tentu tak bisa dilakukan dengan serta-merta dan semudah lidah bicara. Namun demikian upaya untuk melakukan berubahan ke arah yang lebih baik itu harus mulai ditanamkan sebagai tanggung-jawab untuk bersama-sama membangun sebuah tatanan bangsa yang berbudi-luhur, dan termasuk melalui media tayang. (bdg)
Sipulan K. Langka, Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura.
‘DILARANG KENCING DI SINI !’
Tak perlu pura-pura merasa aneh sebab sekedar geleng-geleng kepala tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Barangkali hanya patut prihatin dan itu pun entah apa maknanya bila hanya disampaikan sebagai ucapan ‘bela sungkawa’, tanpa upaya.
Di tengah kedongkolan atas persoalan-persolan yang membelit Negeri ini; persoalan yang muncul dari persoalan, persoalan yang sengaja ditimbulkan, dan persoalan yang tidak selesai-selesai, kerap kali saya mengira inilah mengapa banyak orang lain menimbang kita adalah bangsa yang berjalan di tempat. Atau jangan-jangan malah mundur? Tetapi tentu itu sudah omong ‘basi’ yang (bahkan seolah) kita dengar sejak masih dikandung Ibu.
Atas persoalan itu maka beruntunglah para sineas yang kreatif dengan tidak hanya memamfaatkannya sebagai lumbung penghasilan tetapi juga berusaha mendidik orang lain dengan karya-karyanya, menggugah kesadaran dan menggelitik mereka yang merasa menjadi objek cerita betapa pun belakangan ini mereka acuh dan menganggap itu justru sebagai hiburan belaka. Tentu apresiasi terhadap karya-karya semacam itu selayaknya diacungi jempol dan mendapat tepuk tangan paling meriah.
Tak berlebihan bila bangsa ini disebut butuh terhadap tayangan-tayangan yang mencerdaskan, yang mengajak mereka berfikir ketika menontonnya dan memberi inspirasi. Lagipula ini akhirnya menjadi alternatif bagaimana kita dengan mudah mengetahui dan memahami fenomena yang sedang melanda Negeri kita sendiri, memahami sejarah, juga peradaban sebagai bangsa yang berbudaya. Juga tidak berlebihan jika media (dalam hal ini) televisi disebut mutlak melakukannya, seyogyanya.
Heh, Tapi lihatlah yang terjadi belakangan ini. Begitu remot dipencet, begitu layar dibuka di bioskop misalnya, mata kita dipaksa melotot kepada -maaf– ketiak dan selangkangan yang diumbar-obral tanpa motivasi kecuali daya tarik sensualitas belaka. Tentu tidak semua, tetapi dengan berat hati harus diakui bahwa itu telah menjadi tren masa kini di Negeri ini.
Sementara di luar sana, mereka bersaing siapa paling kreatif, paling imajinatif, paling wah dan paling diterima oleh khalayak. Kita di sini dipaksa menerima tayangan dari ide-ide yang hanya berujung pada finansial, ketenaran, dan sejenisnya. Entah moral nyangkut dimana, wibawa sebagai bangsa yang berbudaya?
Walah publik figur kok sampek segitunya, bangun tidur saja sampek diurus, pake baju ini, pake sabun itu. Seneng miara kucing atau anjing toh apa istimewanya? Curhat rumah tangga kok di telivisi, lah mending baik, wong itu lagi berantem. Bilangnya ngikutin pangsa pasar,Ya ya gimana orang tidak suka wong sudah kebiasaan dari kecil, sampe-sampe orang kampung nun jauh di pelosok sana ribut soal sinetron yang bintang kesayangannya dianiaya. Gara-gara pertimbangan pasar pula rame-rame mereka bikin film yang katanya bergenre horor,pas ditonton, serem kagak, (maaf) mesum iya. Sekedar omong ringan, beberapa waktu lalu, warga Gunung Kidul ‘ngmuk’ gara-gara merasa dilecehkan oleh film horor yang dianggap sarat tahayul dan adegan sensual.
Dari fenomena itu akhirnya kesan yang ditimbulkan pun seolah mereka sudah kehabisan ide kreatif, padahal ini hanya persoalan sikap dan itikat baik dalam membangun. Bila orientasinya hanya pasar dan itu artinya uang, yang ada hanyalah pernyataan tidak langsung “apa peduli saya”. Sehingga Yang terjadi kemudian adalah mereka diciptakan oleh pasar bukan menciptakan pasar. Inilah sesungguhnya masalah utama yang membuat khalayak terlanjur menyenangi tayangan-tayangan ‘berbahaya’ itu.
Tak jarang ditemukan pada sinetron misalnya, kualitas cerita tak lagi menjadi pertimbangan ketika menggarapnya. Yang paling penting hanyalah seorang pemeran punya sesuatu yang ‘menjual’, lebih-lebih menyangkut fisik. Mereka tak perlu susah-susah belajar atau sekolah kesenian kalau hanya butuh adegan nangis dan tertawa. Kondisi ini makin diperparah dengan pola Kejar Tayang.
Bangsa Indonesia seharusnya bisa memamfaatkan peluang yang terbuka lebar di hadapan mereka. Soal ide, bagaimana mungkin kita kehabisan stok cerita ditengah berjimbunnya para penulis yang dari segi kualitas tak kalah hebat dari orang luar sana. Seorang pakar bahkan sempat menegaskan, di suatu daerah di Indonesia, pertumbuhan penulis sama halnya dengan rumput kala musim hujan.
Memang, hal ini tentu tak bisa dilakukan dengan serta-merta dan semudah lidah bicara. Namun demikian upaya untuk melakukan berubahan ke arah yang lebih baik itu harus mulai ditanamkan sebagai tanggung-jawab untuk bersama-sama membangun sebuah tatanan bangsa yang berbudi-luhur, dan termasuk melalui media tayang. (bdg)
TUKAR PIKIRAN
Frezi Amirulloh
Freszi Amirulloh, Mahasiswa Karawitan ISI Bandung asal Subang.
RENDRA DAN SAJAK-SAJAKNYA
Sebelumnya, saya ucap salam hormat kepada mendiang WS. Rendra. Saya tak tahu apa-apa. Sekedar mengira ini menjadi pelipur kerinduan.
Rendra dan sajak-sajaknya, bila saya umpamakan, ibarat air dan ikan di dalamnya –setiap kali kita memancing selalu ada haru dan ketegangan yang susah disembunyikan pada tiap hentak senar meski kemudian saat kita tarik, ikan itu kadang kala terlepas. Pada saat itulah justru rasa penasaran membuat kita ingin terus mencobanya berulang kali.
Kesederhanaan bahasa dan kalimatnya berikut peristiwa yang dihadirkan berbanding terbalik dengan upaya untuk memahaminya secara penuh, namun demikian setidaknya kita dapat menangkap kemana arah sedang dituju, aroma dan suasana yang tiba-tiba digerakkan oleh pikiran, dan sungguh kita menikmatinya.
“Aku tulis sajak ini/ untuk menghibur hatimu”, ia bahkan membicarakan usia senja dengan kemesraan dan ‘kemapanan’ diri dalam hidup, bukan dengan keputus-asaan dan kepasrahan.
Muhammad Santana
Muhammad Santana, Aktifis Sanggar EDAS (Etnika Daya Sora) Bogor.
WS. RENDRA, 200 KARAKTER
Monolog ”Burung Merak” oleh Putu Wijaya beberapa waktu yang lalu, beberapa waktu sepeninggalnya. Dari buklet (yang sekaligus bagian dari isi Monolog), beberapa penggal kalimat yang sempat saya ingat: aku tidak tahu apa kau setuju, tapi aku khawatir. Makin lama makin banyak kelak orang yang tidak pernah mengenal kamu akan bicara tentang kamu. Mereka akan cendrung membuatmu sebagai dongeng. Pada bagian lain: ini Negeri macam apa, kok membiarkan Sastrawan yang sebesar itu sampai cari komisi dari jual lukisanku untuk membiayai keluarganya! “Kata Hardi gemas.”
Bukan memuji, tetapi tampaknya memang tak cukup sederhana membicarakan Rendra dan karya-karyanya, apalagi (maaf) dengan hanya 200 karakter yang sebentar lagi tulisan ini akan habis sebelum sempat berbicara apa-apa. Tapi biarlah, semoga ini pun menjadi upaya yang baik, yang positif.
SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA, ini menjadi luar biasa bukan hanya karena Rendra yang menulisnya, kita bisa lihat bagaimana keharmonisan hidup dibangun bahkan ketika usia sudah ‘bau tanah’. Bagaimana seorang bisa memaknai dan menikmati hidup dari hal-hal yang paling sederhana dalam perjalanan hidup itu sendiri. Seorang Tua bersama istrinya tengah bernostalgia. Dan lebih dari sekedar mengenang masa lalu, mereka ditantang seratus dewa untuk ‘bangun’.
Sepintas mungkin sedikit tampak ganjil. Dalam konteks dramatik, bukankah usia 90 tahun-an seseorang pada umumnya cendrung ‘kembali’ pada sifat kekanak-kanakannya, dan itu tak jelas terlihat ketika si”aku” berarti Seorang Tua. Tetapi bukankah juga tidak ada Penyair yang punya banyak waktu untuk merepotkan diri dengan soal-soal macam itu. Jadi biarlah!
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma,namun tampaknya tidak dengan tulisan ini, sementara ini. Mudah-mudahan ada jumpa lain kali.
Langganan:
Postingan (Atom)