Rabu, 30 Maret 2011

TUKAR PIKIRAN






Frezi Amirulloh
Freszi Amirulloh, Mahasiswa Karawitan ISI Bandung asal Subang.

RENDRA DAN SAJAK-SAJAKNYA

       Sebelumnya, saya ucap salam hormat kepada mendiang WS. Rendra. Saya tak tahu apa-apa. Sekedar mengira ini menjadi pelipur kerinduan.
       Rendra dan sajak-sajaknya, bila saya umpamakan, ibarat air dan ikan di dalamnya –setiap kali kita memancing selalu ada haru dan ketegangan yang susah disembunyikan pada tiap hentak senar meski kemudian saat kita tarik, ikan itu kadang kala terlepas. Pada saat itulah justru rasa penasaran membuat kita ingin terus mencobanya berulang kali.
       Kesederhanaan bahasa dan kalimatnya berikut peristiwa yang dihadirkan berbanding terbalik dengan upaya untuk memahaminya secara penuh, namun demikian setidaknya kita dapat menangkap kemana arah sedang dituju, aroma dan suasana yang tiba-tiba digerakkan oleh pikiran, dan sungguh kita menikmatinya.
       “Aku tulis sajak ini/ untuk menghibur hatimu”, ia bahkan membicarakan usia senja dengan kemesraan dan ‘kemapanan’ diri dalam hidup, bukan dengan keputus-asaan dan kepasrahan.


Muhammad Santana
Muhammad Santana, Aktifis Sanggar EDAS (Etnika Daya Sora) Bogor.

WS. RENDRA, 200 KARAKTER

       Monolog ”Burung Merak” oleh Putu Wijaya beberapa waktu yang lalu, beberapa waktu sepeninggalnya. Dari buklet (yang sekaligus bagian dari isi Monolog), beberapa penggal kalimat yang sempat saya ingat: aku tidak tahu apa kau setuju, tapi aku khawatir. Makin lama makin banyak kelak orang yang tidak pernah mengenal kamu akan bicara tentang kamu. Mereka akan cendrung membuatmu sebagai dongeng. Pada bagian lain: ini Negeri macam apa, kok membiarkan Sastrawan yang sebesar itu sampai cari komisi dari jual lukisanku untuk membiayai keluarganya! “Kata Hardi gemas.”
       Bukan memuji, tetapi tampaknya memang tak cukup sederhana membicarakan Rendra dan karya-karyanya, apalagi (maaf) dengan hanya 200 karakter yang sebentar lagi tulisan ini akan habis sebelum sempat berbicara apa-apa. Tapi biarlah, semoga ini pun menjadi upaya yang baik, yang positif.
       SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA, ini menjadi luar biasa bukan hanya karena Rendra yang menulisnya, kita bisa lihat bagaimana keharmonisan hidup dibangun bahkan ketika usia sudah ‘bau tanah’. Bagaimana seorang bisa memaknai dan menikmati hidup dari hal-hal yang paling sederhana dalam perjalanan hidup itu sendiri. Seorang Tua bersama istrinya tengah bernostalgia. Dan lebih dari sekedar mengenang masa lalu, mereka ditantang seratus dewa untuk ‘bangun’.
       Sepintas mungkin sedikit tampak ganjil. Dalam konteks dramatik, bukankah usia 90 tahun-an seseorang pada umumnya cendrung ‘kembali’ pada sifat kekanak-kanakannya, dan itu tak jelas terlihat ketika si”aku” berarti Seorang Tua. Tetapi bukankah juga tidak ada Penyair yang punya banyak waktu untuk merepotkan diri dengan soal-soal macam itu. Jadi biarlah!
       Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma,namun tampaknya tidak dengan tulisan ini, sementara ini. Mudah-mudahan ada jumpa lain kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar