Rabu, 30 Maret 2011

RE-WORD

Esai Sipulan K. Langka
Sipulan K. Langka, Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura.





‘DILARANG KENCING DI SINI !’

       Tak perlu pura-pura merasa aneh sebab sekedar geleng-geleng kepala tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Barangkali hanya patut prihatin dan itu pun entah apa maknanya bila hanya disampaikan sebagai ucapan ‘bela sungkawa’, tanpa upaya.
       Di tengah kedongkolan atas persoalan-persolan yang membelit Negeri ini; persoalan yang muncul dari persoalan, persoalan yang sengaja ditimbulkan, dan persoalan yang tidak selesai-selesai, kerap kali saya mengira inilah mengapa banyak orang lain menimbang kita adalah bangsa yang berjalan di tempat. Atau jangan-jangan malah mundur? Tetapi tentu itu sudah omong ‘basi’ yang (bahkan seolah) kita dengar sejak masih dikandung Ibu.
       Atas persoalan itu maka beruntunglah para sineas yang kreatif dengan tidak hanya memamfaatkannya sebagai lumbung penghasilan tetapi juga berusaha mendidik orang lain dengan karya-karyanya, menggugah kesadaran dan menggelitik mereka yang merasa menjadi objek cerita betapa pun belakangan ini mereka acuh dan menganggap itu justru sebagai hiburan belaka. Tentu apresiasi terhadap karya-karya semacam itu selayaknya diacungi jempol dan mendapat tepuk tangan paling meriah.
       Tak berlebihan bila bangsa ini disebut butuh terhadap tayangan-tayangan yang mencerdaskan, yang mengajak mereka berfikir ketika menontonnya dan memberi inspirasi. Lagipula ini akhirnya menjadi alternatif bagaimana kita dengan mudah mengetahui dan memahami fenomena yang sedang melanda Negeri kita sendiri, memahami sejarah, juga peradaban sebagai bangsa yang berbudaya. Juga tidak berlebihan jika media (dalam hal ini) televisi disebut mutlak melakukannya, seyogyanya.
       Heh, Tapi lihatlah yang terjadi belakangan ini. Begitu remot dipencet, begitu layar dibuka di bioskop misalnya, mata kita dipaksa melotot kepada -maaf– ketiak dan selangkangan yang diumbar-obral tanpa motivasi kecuali daya tarik sensualitas belaka. Tentu tidak semua, tetapi dengan berat hati harus diakui bahwa itu telah menjadi tren masa kini di Negeri ini.
Sementara di luar sana, mereka bersaing siapa paling kreatif, paling imajinatif, paling wah dan paling diterima oleh khalayak. Kita di sini dipaksa menerima tayangan dari ide-ide yang hanya berujung pada finansial, ketenaran, dan sejenisnya. Entah moral nyangkut dimana, wibawa sebagai bangsa yang berbudaya?
       Walah publik figur kok sampek segitunya, bangun tidur saja sampek diurus, pake baju ini, pake sabun itu. Seneng miara kucing atau anjing toh apa istimewanya? Curhat rumah tangga kok di telivisi, lah mending baik, wong itu lagi berantem. Bilangnya ngikutin pangsa pasar,Ya ya gimana orang tidak suka wong sudah kebiasaan dari kecil, sampe-sampe orang kampung nun jauh di pelosok sana ribut soal sinetron yang bintang kesayangannya dianiaya. Gara-gara pertimbangan pasar pula rame-rame mereka bikin film yang katanya bergenre horor,pas ditonton, serem kagak, (maaf) mesum iya. Sekedar omong ringan, beberapa waktu lalu, warga Gunung Kidul ‘ngmuk’ gara-gara merasa dilecehkan oleh film horor yang dianggap sarat tahayul dan adegan sensual.
       Dari fenomena itu akhirnya kesan yang ditimbulkan pun seolah mereka sudah kehabisan ide kreatif, padahal ini hanya persoalan sikap dan itikat baik dalam membangun. Bila orientasinya hanya pasar dan itu artinya uang, yang ada hanyalah pernyataan tidak langsung “apa peduli saya”. Sehingga Yang terjadi kemudian adalah mereka diciptakan oleh pasar bukan menciptakan pasar. Inilah sesungguhnya masalah utama yang membuat khalayak terlanjur menyenangi tayangan-tayangan ‘berbahaya’ itu.
       Tak jarang ditemukan pada sinetron misalnya, kualitas cerita tak lagi menjadi pertimbangan ketika menggarapnya. Yang paling penting hanyalah seorang pemeran punya sesuatu yang ‘menjual’, lebih-lebih menyangkut fisik. Mereka tak perlu susah-susah belajar atau sekolah kesenian kalau hanya butuh adegan nangis dan tertawa. Kondisi ini makin diperparah dengan pola Kejar Tayang.
       Bangsa Indonesia seharusnya bisa memamfaatkan peluang yang terbuka lebar di hadapan mereka. Soal ide, bagaimana mungkin kita kehabisan stok cerita ditengah berjimbunnya para penulis yang dari segi kualitas tak kalah hebat dari orang luar sana. Seorang pakar bahkan sempat menegaskan, di suatu daerah di Indonesia, pertumbuhan penulis sama halnya dengan rumput kala musim hujan.
       Memang, hal ini tentu tak bisa dilakukan dengan serta-merta dan semudah lidah bicara. Namun demikian upaya untuk melakukan berubahan ke arah yang lebih baik itu harus mulai ditanamkan sebagai tanggung-jawab untuk bersama-sama membangun sebuah tatanan bangsa yang berbudi-luhur, dan termasuk melalui media tayang. (bdg)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar