Rabu, 30 Maret 2011

EPISODE

Cerpen Mieny Angel
Mieny Angel, kelahiran Gunungkidul 23 Februari 1989. Mempunyai nama asli Tri Darmini. Perempuan yang insyaAllah akan senantiasa belajar dalam hidupnya. Mencintai dunia tulis menulis sejak SMA, sempat vakum dan memulai menulis lagi akhir 2010. Alhamdulilah, sejak saat itu karyanya diakui banyak publik. Salah satu cita-citanya adalah menjadi seorang penulis yang bermanfaat untuk semua. Beberapa coretannya bisa diintip di rumah pribadinya http://tridarmini.blogspot.com/ Bisa disapa di twitter @mieny_angel juga email: mieny_angel@yahoo.com







KEPADA HUJAN KUKIRIM RINDU
:MJ, yang selalu mengingatku lewat hujan.

       Lagi, hujan membasahi pelataran rumahku. Dari balik kaca jendela aku dapat menyaksikan butiran kristal air yang saling berjatuhan. Bebas, luruh, jatuh meresap ke tanah, menguap jikalau mentari muncul. Menjadikannya awan lalu kembali hujan, dan begitu seterusnya. Lagi dan lagi berulang.
       Hujan. Ah, ini sudah tiga hari hujan berturut-turut menamani pagiku. Aku hanya akan menikmati hujan dari balik jendela, saja. Sebab tak mungkin aku berlari menerjangnya di pelataran rumahku. Dalam kenyataannya aku ingin menegadahkan tangan dan membiarkan tubuh ini basah oleh terpaan hujan. Aku ingin seperti itu, tapi tidak. Aku tidak bisa seperti itu, lagi.
       Aku adalah gadis pencinta hujan, dulu bahkan sampai detik ini. Hujan akan menghapus air mataku sesegera mungkin. Aku dulu adalah seorang yang lemah, mungkin sampai detik ini. Aku adalah seorang yang selalu kalah diperolok oleh teman-teman sekolahku. Namun keadaan saat itu lebih menguntungkan dari detik ini.
       Dan ketika aku menangis, langit pun seakan ikut menangis, mengirimkan hujan untuk menemaniku. Membasuh air mata di pipiku. Aku akan pura-pura bermain hujan untuk menyembunyikan air mataku. Membiarkannya jatuh bersama dengan butiran hujan.
       Ah, aku cinta hujan.
       Hujan yang dulu dan hujan hari ini masih sama bagiku. Sahabat dalam kesendirianku.
       Aku beranjak dari jendela menuju meja riasku. Sebuah foto manis terpampang di dalam bingkai. Dua orang manusia, aku jelas mengenali siapa itu. Seorang pria mengenakan batik merah dan seorang gadis memakai batik coklat, terusan. Pria itu tak lain adalah sahabatku, Januar. Sedang sebelahnya itu adalah aku. Ya, aku ingat dengan jelas itu adalah fotoku dan dia tiga tahun yang lalu. Itulah dimana pertama kali aku dan dia saling jumpa. Lagi, dan lagi-lagi perjumpaan itu ditemani oleh sang hujan.
       “Mimin.” Sapanya saat itu.
       “Januar. Ini beneran kamu?”
       “Kamu pikir?”
       Aku tak akan melupakannya. Tak akan. Persahabatanku dengannya memang telah lama tercipta namun baru sekali itu aku dan dia bertatap muka. Kami adalah seorang yang sama-sama mencintai hujan. Entah apa sebabnya, semakin hari hubungan kami makin akrab. Tak jarang jika hujan datang kami akan saling memikirkan dan seakan ada ikatan batin, walau terbentang jarang berpuluh kilau komunikasi kami tetap jalan.
       Seperti suatu sore sebelum hari ini, masih susana hujan dia ber-sms padaku: “Kala butir air langit menepuk debu, masihkah kau mengingatku?”
       Tak perlu kujawab. Aku tahu maksudmu. Januar aku akan selalu mengingatmu.
       Lagi, bingkai foto kuajak mendekati jendela. Manikmati hujan yang lebat bersama angin yang sedikit ganas. Mengombang-ambingkan pohon mangga di halaman rumahku.
       “Januar, kamu tahu gak? Aku lagi bermain bersama bulir air langit, aku bersama hujan.” Kataku lirih sambil menatap hujan dan foto dalam tanganku bergantian. Sementara jari telunjukku mengelus foto dalam bingkai itu.
       “Aku rindu kamu Januar. Kita telah lama tak jumpa. Kamu tahu gak? Jika hujan turun, air mataku pun ikut menetes. Entah sejak kapan aku menjadi wanita yang cengeng makin cengeng.” Bulir hangat air mata mulai membasahi pipiku.
       Aku ingin sekali detik ini pula aku berlari, memeluk hujan. Aku bisa.
       Hujan, kenapa aku harus menyimpan rindu padanya?
       Hujan, kenapa pula kau menyatukan kami?
       Hujan, oh hujan kapan kau mempertemukanku lagi dengannya?
       Hujan, aku mencintaimu juga sahabatku.
       Secarik kertas kutarik tak lupa tinta kugenggam.
       “Januar, aku akan tuliskan sebuah puisi lagi. Satu puisi lagi pagi ini maka genap1095 puisi. Itu berarti 1095 hari, alias tiga tahun.” Ucapku sambil senyum menatap foto.
       Setelah pertemuan pertama, tiga tahun yang lalu, aku selalu menuliskan sehari satu puisi. Puisi khusus untuknya. Aku telah berikrar janji pada diriku sendiri dan hujan kalau suatu hari nanti aku dipertemukan dengannya, akan kuserahkan sebendel puisi untuknya. Puisi hujan pengobat rinduku.

       BENING HUJAN

       Hujan kembali menemaniku
       Menarik otakku untuk memikirkan tentangmu(lagi)
       Dalam tiap bulir tetes hujan yang tumpah
       Ada satu pengharapan untukmu
       Ku dapat melihat bayanganmu
       Pada setiap air yang terjebak di dedaunan
       Engkau tersenyum dan melambaikan tangan
       Hujan telah menyatu dalam tubuhmu,tubuhku dan kisah kita
       Begitu rencana-Nya
       Merekatkan jiwa kita lewat hujan
                                                        -Mieny Angel

       Aku tersenyum puas. Akhirnya 1095 puisi selesai pagi ini. Hujan pun seketika berhenti. Kenapa? Padahal aku masih berharap hujan turun lagi. Aku masih merindukannya.
       “Berjanjilan padaku!” kata dia saat pertama kita bertemu.
       “Tentang?”
       “Rindumu akan kau titipkan pada hujan.” Aku tersenyum, tersipu mendengarnya.
       “Berjanjilah kau akan merindukanku!”
       “Kenapa kau seyakin itu?”
       “Karena aku akan jauh.”
       “Kenapa harus bersama hujan aku titip rindu?”
       “Karena hujan adalah lem perekat kita.”
       “Aku tak akan merindukanmu, Januar.”
       “Kau akan merindukanku, Mimin. Hujan akan mengingatkan bahwa ada satu nyawa yang kau rindu. Jauh dalam lubuk hatimu kau akan meronta untuk sebuah kerinduan.”
       Benar. Semua perkataan dia saat itu benar. Aku benar merindukan satu nyawa, itu adalah dia, Januar sahabatku. Dan ketika hujan tiba, rindu itu makin mencekik hatiku, kuat.
       Andai keadaan tak seperti ini, aku pastikan hari ini aku di dekatnya. Menjemputnya di bandara. Tapi tidak. Maafkan aku, aku tak bisa menjemput kepulanganmu dari Perancis seperti janjiku saat pertama kali kita bertemu dan saat perpisahan denganmu tiga tahun yang lalu.
Keadaan kita telah berbeda.
       Dia telah menjadi seorang Master Desainer handal seperti mimpinya terbang ke Perancis. Sedang aku, andai saja dia tahu. Mungkin sebaiknya dia tak pernah tahu.
       Aku bangkit dari jendela. Duduk manis di kursi roda hendak menyaksikan bayangannya di dalam air yang terjebak di daun mangkukan.
       Kursi roda ini adalah alasan semuanya. Kukubur semua rinduku padanya. Kecelakaan di pertemuan pertama itu telah membuat dua kakiku lumpuh. Aku tak sanggup menemuinya dalam keadaan seperti ini.
Aku hanya mampu terus merindukannya.
       Dan kepada engkau hujan kutitipkan rinduku untukmu. Kirimkan rinduku selalu bersama bulir air langit yang menepuk debu.


Wonosari, Maret 28.2011 / 22.36

1 komentar:

  1. terimakasih sudah ditampilkan di buletin ini. ikut senang menjadi bagian dari buletin ini, semoga nantinya buletin ini bermanfaat bagi banyak sahabat. Amin

    BalasHapus