Sabtu, 30 April 2011

WARTA

Awas,
BAHAYA HUJAN!



        Pernahkah saudara mendengar kata-kata seperti berikut ini: maaf, saya telat. Nunggu hujan reda. Atau, Di luar sedang hujan, jadi saya tak bisa hadir. Atau, Wah saya lagi kejebak hujan. Atau, Kalau tidak hujan saya pasti hadir. Dan sebagainya.

        Jelas ini bukan fenomena baru tapi barangkali sebagian orang baru menyadarinya, hujan akhirnya seolah menjadi sesuatu yang menakutkan, pun kerap kali menjadi kambing hitam entah atas ketidak-sanggupan melakukan sesuatu maupun sekedar karena malas. Seperti baru ketemu hujan saja sehingga kita merasa keteteran setiap kali menghadapinya.
        Bukankah hujan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanyalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan. Dalam hal ini, lalu apa masalahnya? Apa yang membuat kita tidak bisa berfikir sederhana tentang hujan? Ada apa dengan hujan atau dengan kita sendiri?

***

        Puji sukur kepada Yang Maha Kuat atas segala limpahan daya dan upaya untuk apa pun aktifitas yang sedang kita semua kerjakan. Terima kasih untuk kawan,sodara,tetangga, dan semua yang telah senantiasa sudi mengapresiasi Buletin Sastra Jalan Setapak (SAJAK) edisi ke-2, 30 April 2011, baik sebagai penyumbang tulisan maupun pembaca sekalian. Semangat belajar, terus membaca, tetap menulis, redaksi menunggu karya-karya berharga itu.
        Adapun materi TUKAR PIKIRAN edisi ke-3, 31 mei 2011 adalah cerpen LELAYANG RINDU karya Gamang Beret. Sekian dan terima kasih.

        Salam jabat tangan paling hangat.

Redaksi, 30 April 2011
Bona P. Silaban

SIULAN







Sajak-sajak A. TRMIDZI MAS'UD
A.Tirmidzi Mas’ud, Lahir di Sumenep 17 mei 1977. Pendidikannya Sejak MI (setara SD) sampai perguruan tinggi ia tempuh di kota kelahirannya, tamat tahun 2004. Aktif di IPNU sebagai pengurus ANCAB Gapura (1992-1995), Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Madura “AMPERA” (1998). Menjabat sebagai sekretaris majalah CITA STIKA (1997-1998). Pendiri sekaligus Ketum Pusat Istighatsah Jum’at Manis Sumenep Madura (1999-sekarang). Kepala sekolah di SMA Pesantren Al-In’am Madura (2003-2008, 2010-2015). Pembina sanggar Conglet (2005-sekarang). Saat ini ia juga tercatat sebagai sekretaris umum DPD NASDEM kab. Sumenep. Dll. Riwayat kepenulisannya di mulai sejak di bangku Madrasah Tsanawiyah NASA Sumenep.

RINTIHAN JIWA

lembaran hari-harimu
selalu mengisahkan tentang kerunyaman
Negeri ini, hingga Bapak-Bapak
kita tak kuasa membacanya
atau…
memang sengaja tak mau baca.

sejuta jiwa yang merintih menadahkan tangan
diiringi banjir air mata
yang mengalir di bawah sepatu
kesewenang-wenangan penguasa,
tak lagi terdengar dan terlihat,
sebab, udara Negeri ini pengap.

kami cuma ingin berkata
beri kesempatan kami bersuara,
bahwa keadilan, hak asasi
demokrasi hanyalah
fatamorgana belaka.

Sumenep, 1997


KAKI LANGIT

Di teluk talongo ini, aku
Persembahkan sebuah kata sendu
Sebagai lukisan hati yang sedang pilu
Lantaran antara kau dan aku
Tak kunjung bersatu
Karena di putih matamu tak ada aku
Birunya langit tak mampu
Menghapus bercak merah dalam dada
Sebab hembusan bayu segara tak bisa
Mengusir lara yang telah menjelma luka.

Kau adalah kau
Aku adalah aku
Di antara kita tak mungkin bersua.

Teluk Talango, 2001



Sajak-sajak ANSHORI SAPU JAGAD
Anshori Sapu Jagad, Penyair kelahiran Sumenep Madura, perintis Lembaga Kajian Sastra Arus Sungai (LEKSAS) Kalimantan Timur. Berbagai tulisannya sebagian tersebar di media massa, baik lokal maupun nasional.

JEJAK

Seperti payudara beranjak usia
Memaknai jejaknya sendiri
Tak dengar cakap
metafora kepergian, hanya jadi penangkal maujud
Kesedihan bertemu kesedihan
(masa bodoh:lihat)
Waktu datang sekali pergi meninggalkan jejak
Selagi bersayap transparan
Sihir-menyihir keinginan antusias seperti chairil mau
Sendiri sebagai pemula
Kemasi kegembiraan
Sebab kunang-kunang menerangi perutnya
Dan tak member i jalan :
mari lupakan rumah berlampu sebelum
Para penghuni tau, sebentar lagi
Layar tanpa jalan

2010


MARIA DI GARIS PERBATASAN SUNGAI NUN


adalah maria
yang berjanji akan mengembalikan langkah-
langkah yang tak pasti di tiang kayu penyaliban

katanya: memakan tangis bukan persoalan utama

aku semakin bingung
pada kebenaran yang tak pasti
sementara perahu dayung terus melaju
sampai shalawat menemui nabinya

atas namamu : maria
maka aku tak akan layu
meski telah kau minum
darahku
sebagai tumbal kemesraan langit

2010


SILFI, MENDEKAP HALAMAN DERITA

Genit suaramu
Pahatkan di atas roda angin
Main tikam dengan matahari
Terus memburu dan merayu
Merampung air mata di jajah perih

Silfi
Buka kedua tangan sebagai bukti
Dalam ringkik-merangkak
Membuka album masa dan rasa
Sebab cinta telah merayakan wajahmu
Jangan mati mendekap halaman derita

Paseran, 08 Agustus 2008



Sajak-sajak SELENDANG SULAIMAN
Selendang Sulaiman, kelahiran Madura 18-10-1989. Alumnus S Conglet PP Al-in'am Sumenep Madura. Aktif di forum kajian sastra Kutub Yogyakarta. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan kalijagaYogyakarta. aktif berteater di Sanggar NUUN Yogyakarta. karya-karyanya terpublikasikan di berbagai media, diantaranya; suara karya jakarta, Harian Jogja, Koran Merapi, Harian Joglosemar dan terbit dalam antologi Mazhab Kutub Yogyakarta, Antologi Purnama Majapahit Mojokreto. saat ini masih berselingkuh dengan dunia aktivis gerakan mahasiswa, sebagai Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.


KUATRIN RINDU MAMA

Mama, sepi nian hari dan malam-malamku,
dimana waktu sudutkan hidup
ke bilik kosong tanpa lubang
hampa sambutmu, sesirna sinar membinar

Mama, aku merindu,
rindu yang membuatku menangis tanpa lenguh.
Rindu wajahmu aura surga sang ibu
Pun bening matamu yang intan berkilau.

Mama, ketika musim dingin menyergap,
tubuhku dingin disaput rindu angin
tidur tak lelap terbayang selimut
di ranjangmu tempat aku memasung dosa

Mama, hasratku memuncak himalaya
Sekedar merapatkan senyum di bibirmu,
Sedang birahiku menguap libido insani
Menembus puing-puing di bilik harmoni

Yogyakarta, 2009



ORNAMEN YANG LAIN

Diksi dan metafor tiada lebih sakral dari air mata.
muntahan kata-kata sebatas sampah basah di wajah rembulan dan
Seleksa pagi akan ranum jika pada sang fajar tersirat sesuit bibirmu.

Yogyakarta, agustus-september ’09



AMNESIA II

Hanya kenang berenang di lautan
Ibu yang mengiris bawang di dapur
Aku yang tertunduk dijatuhkan mendung tebal
Tenggelam dalam putihnya selilit seluet kata

Kata-kata yang kabur lari dari huruf-huruf
Raib menyalip separuh sukma yang maya
Menjelma gugusan raga di tiang kematian
Tanpa nama tanpa rupa tanpa ingatan

Hanya kenang berenang di lautan
Bapak yang meraup keringat di pangkal cangkul
Aku yang meringkuk dirangkul hujan di tengah matahari
Hanyut dalam gelombang kata-kata mendengkur tubuh sendiri

Jogja 2009

EPISODE

Cerpen GAMANG BERET
Gamang Baret, kelahiran Medan 1987. Kegandrungannya terhadap teaterlah yang membuat ia 'terpaksa' menulis.












LELAYANG RINDU

        Setangkai janji layu di tanganmu dengan seuntai kata-kata menguncup di pucuk kalimat yang lembab menenun mulutku hingga sekujur tubuh beku. Di ujung dermaga itu kaulepaskan merpati dari sangkar hatimu membubung tinggi, jauh dan semakin jauh dari pandangku . Kepak sayapnya mengusap ketegaran sembari menaburkan keikhlasan di atas harapan yang telah buntu. Sementara itu kutetesi laut dengan air mata hingga mengeruh seiring ombak menari sembari melagukan syair-syair pilu.
        Layar perahu itu tergerai, menjala langkahmu untuk mengarungi samudera biru. Dialah cadik yang akan menuntun dan memenuhi masa depanmu. Tak ada lagi yang mampu kuperbuat untuk menunda keberangkatanmu. Sempat kuberbisik kepada angin tentang keluh agar ragu meniup perjalananmu namun tetap juga tak berlaku.
        Telah kaurancang kalimat perpisahan di jauh-jauh hari dengan kata maaf ialah akhir kesimpulannya dan tak akan ada lagi yang terselip di bilik-bilik hati yang akan membuatmu kembali; berpaling wajahmu dari teras pandangku meski kupagari dengan air mata namun tetap kaubungkus dengan kata-kata yang semula telah bicara.
        Kau jauh dan semakin jauh ditelan layung sore itu hingga hilang di ujung mataku memandang. Dan aku pun membelakangi peristiwa itu dengan riasan air mata yang mengering di wajah pula dengan sekujur kebimbangan yang memberatkan niatku untuk meneruskan perjalanan pulang. Semakin ikal dan juga telah kusut di pikiranku tentang aku yang dirundung beribu galau.
Kala itu, enggan kuperbincangkan impian karena masih rumit mencari jalan keluar. Persoalan rasa yang terus mengganggu. Tanpa sadar aku telah kau titipkan di tempat itu, bekas kita menyulam waktu dengan gurau dan haru. Entah aku harus bagaimana untuk melalui semua ini. Selalu, aku menjumpaimu bermain di halaman dan lamunanku.
        Kausajikan sepotong roti coklat dengan segelas susu menjelang malam, sebuah kecup kening dan pelukan hangat dengan selembar kata pengantar tidur meninabobokkanku. Dan ketika jendela pagi terbuka, di sudut timur kau lantunkan salam pagi membangunkan raga yang letih sehabis kelana dalam mimpi. Itulah kenangan yang dinamai masa lalu. Hingga kini, semua itu masih sepat tercicip-ingat.
        Aku menoleh, sekedar memastikan awan berebut mendung; rintik-rintik memulai gerimis menghidupkan kembali yang sungguh telah kupaksa mati. Kau begitu sesak dalam pikiranku dan aku pun belum sanggup memperdayanya.
        Tetapi kini, di sini aku akan memulainya, inilah hari dimana aku belajar tentang hal-hal yang baru, mempelajari rumus bagaimana melupakan masa lalu serta membakar sobekan perjalanan dari catatan kelabu.

Jakarta, 2011

RE-WORD

Esai ANDREAS CANDRA
Andreas Candra, Lahir di Surabaya,saat ini aktif berteater dan belajar seni peran di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
KOMUNIKASI BUDAYA
Dalam Novel Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata




“Jika kuseduhkan kopi, ayahmu menghirupnya pelan-pelan lalu tersenyum padaku”. Meski tak terkatakan , anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas membalas, dan kopi itu adalah Cinta di Dalam Gelas. (Andrea Hirata. Cinta di Dalam Gelas, Hal: 11)

        Menurut Bekti Patria Dwi Hastuti dalam salah satu tulisannya, mengatakan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Keberadaan sastra tidak lepas dari masyarakat dan kenyataan sosial di sekelingnya. Hal itu pun tampaknya ditangkap dengan baik oleh Andrea Hirata sebagai modal utama untuk menulis Novel-novelnya. Melalui gaya bahasa yang ‘renyah’, lebih dari sekedar novel, Andrea seperi sedang menulis sebuah buku untuk bahan Ajar Antropologi, Sosiologi, atau bahkan sejarah.
        Hal ini dengan jelas terlihat dari penuturan bahasa yang diraciknya dengan segala persoalan yang menjadi poin of view cerita –bagaimana Andrea Hirata mampu menjadikan tema kopi sebagai sebuah pembahasan untuk mengungkap segala bentuk kebiasaan orang-orang Belitong pada umumnya. Gaya penuturan bahasa semacam itu kemudian mampu membuat pembaca (termasuk saya pribadi) seolah-olah, entah sejak kapan menjadi bagian dari warga Belitong ketika membaca novel tersebut.
        Kopi dalam novel ini akhirnya tidak hanya menjadi sekedar minuman yang bisa dengan sederhana orang-orang memaknainya. Dalam novel ini kita akan menemukan sebuah realitas yang sepintas tampak berlebihan tentang Kopi, bagaimana rasa penasarannya seorang isteri tentang rasa kopi dari warung kopi yang katanya lebih enak dari kopi buatannya. Kemudian diam-diam dia membeli kopi dari warung kopi dan membawanya pulang dengan harapan suaminya tidak ngopi di warung. Tapi apa kata suaminya, kopi tersebut tidak seenak kopi buatan warung kopi.
        Kabiasaan minum kopi di warung kopi pada masyarakat Belitong didasari oleh budaya lisan (berbicara) yang sangat tinggi sehingga warung kopi menjadi tempat yang istimewa untuk melakukan kebiasaan tersebut. Dari warung kopi itu pula komflik dibangun, dalam hal ini tentang tokoh sentralnya.
        Adalah tidak terlalu muskil bagi seorang Andrea Hirata dengan latar belakang pendidikannya (meski bukan dalam ilmu sastra), ia dapat menjelaskan tetek-bengek seputar kopi dengan uraian teori-teori yang unik, seperti teori konspirasi dalam Buku Besar Peminum Kopi yang salah satunya menyebutkan bahwa: Mereka yang memesan kopi sekaligus memesan teh –adalah mereka yang baru gajian. Hal ini tentu sangat sederhana dan semua orang bisa menerimanya sebagai sebuah kenyataan dari sebuah pendapat yang sebelumnya jarang disadari.
        Pada bagian lain ia menuliskan sebuah Mozaik tentang Kopi, berdasarkan cara memegang gelas. Ini menggambarkan betapa kedekatan penulis dengan lingkungan sekitar sangat intim. Ia seolah ingin mengatakan bahwa kebudayaan yang melingkupinya bisa ia sampaikan hanya dengan segelas kopi dan bagaimana beragam cara memegang gelas atau cangkir. Dalam hal ini Andrea mengangkat sebuah contoh bagimana sorang Sersan Kepala mampu mengendus kasus pencurian dengan metode tersebut.
        Cultural novelis yang disandang oleh Andrea Hirata tidak hanya pada soal budaya yang ia bicarakan dalam novel-novelnya, karakter kepenulisan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan bukan semata karena apa yang ia bicarakan dan meraciknya dengan ringan (tanpa mengabaikan kedalaman intlektualitas), lain dari itu bagaimana ia mencoba menelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi di masyarakat untuk kemudian mengkomunikasikannya kembali lewat struktur dramatik yang sempurna dalam sebuah novel bertemakan perjuangan tersebut.
        Komunikasi yang dibangun secara atraktif antara pembaca dengan novel ini semakin terlihat ketika Andrea Hirata pada saat-saat tertentu berganti sosok menjadi tidak ada taubahnya dengan pembaca itu sendiri. Hal-hal seperti ini sering dilakukannya dengan maksud agar apa yang hendak ia sampaikan terserap bukan hanya sebatas teks yang ada, termasuk bagaimana ia membicarakan hal yang kerap ia selubungkan dengan mengajak pembaca berfikir sebagaimana alur pikirannya.
        Judul Cinta di Dalam Gelas sendiri sejatinya telah cukup mengambarkan situasi yang hendak ia paparkan dalam novel tersebut –serta-merta kita akan menangkap kesederhanaan dalam suatu jalinan rumah tangga. suatu kesederhanaan yang akhirnya menjadi luar biasa dengan hanya (lagi-lagi) muncul dari kopi. Kopi yang dimaksud di sini tentu bukan semata bentuk materi sebagai sebuah minuman melainkan bagaimana kopi itu menjadi pelantara yang menegaskan suatu perasaan tertentu; bisa cinta, kasih sayang, dan atau perhatian yang dimiliki seorang istri kepada suami dan begitu pun sebaliknya.
        Hal-hal yang –sederhana- macam inilah sering kali kita abaikan dan enggan menyadarinya dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana sesuatu yang luar biasa tidak selalu berasal dari kemewahan, tidak selalu dimiliki oleh orang-orang yang dalam hidupnya serba berkecukupan. Dan tampaknya Andrea Hirata, lebih dari sekedar menceritakan sebuah kisah, ia mencoba mengaitkan kondisi carut-marut yang belakangan ini terjadi di Indonesia pada umumnya. Tentu saja dengan teknik kontras –entah sengaja atau tidak- ia menyejikannya.
        Persoalan demi persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia kini terasa begitu pelik dan membuat orang-orang ‘gerah’ bukan kepalang, rasanya pun menjadi wajar ketika seseorang harus merasa menyesal lahir di Indonesia. Namun demikian, jika kita mampu menyadarinya, ternyata masih banyak hal-hal yang justru membuat kita akan merasa menyesal jika tidak lahir sebagai orang Indonesia. Dan secara tidak langsung, upaya inilah yang dimaksud oleh Andrea Hirata dengan tema budaya dan kehidupan orang Belitong yang diusungnya.
        Pada bagian lain, novel ini bercerita tentang kegemaran orang Belitong bermain catur. Lebih dari sekedar permainan, akhirnya catur pun dianggap sebagai sebuah cara untuk mengangkat derajat dan harga diri apabila dapat mengalahkan lawan mainnya. Dari papan catur itu pula Andrea Hirata menemukan batu loncatan untuk berbicara emansipasi perempuan.
        Enong (Panggilan Maryamah), bertekat balas dendam kepada mantan suaminya atas perbuatannya di masa lalu dengan cara mengalahkannya di perlombaan catur 17 Agustus-an. Dengan bantuan Ikal CS dan pecatur dunia Ninochka Stronovsky, akhirnya ia pun berhasil meraih impiannya untuk menjadi sang pemenang. Oleh sebab pertandingan catur pulalah ia mendapatkan nama belakang Karpov karena gaya permainannya dianggap mirip dengan Grend Master Anatoly Karpov. Jadilah ia Maryamah Karpov yang sebelumnya telah menjadi salah satu judul novel pada tatrologi Laskar Pelangi.
        Kembali pada soal gender, kepedulian Andrea Hirata terhadap persoalan ini masih dalam konteks budaya Belitong dimana seorang perempuan cendrung tak mendapat ruang gerak aktifitas yang cukup luas. Ini terlihat dari proses pertandingan catur itu sendiri. Namun tak berarti gagasannya tentang gender itu melampaui batasan-batasan seorang perempuan sewajarnya. Sikap yang sepintas ‘liar’ itu tak lain untuk menggambarkan kegigihan perjuangan seorang manusia dalam meraih impiannya.
        Budaya Belitong yang melatari tokoh-tokoh dalam novel tersebut memungkinkan Andrea Hirata berbicara lebih banyak pada wilayah perempuan secara kontekstual, seperti munculnya penambang perempuan pertama kali dan pemain catur, yang sebelumnya dirasa sebagai sesuatu yang tabu dan ‘janggal’. Maka untuk selanjutnya menjadi awal sejarah keterlibatan perempuan dalam aktifitas-aktifitas itu.
        Kondisi kehidupan rakyat kecil seperti dalam cerita ini kiranya menjadi satu gambaran betapa kesejahtraan belumlah bisa dibilang telah berhasil dan dirasakan oleh bangsa -yang konon kaya- ini.
Akhirnya, seperti pada novel-novel sebelumnya, apresiasi terhadap sebuah kebudayaan dalam upaya melestarikannya juga terasa begitu kental dalam novel ini. Seperti sedang mengingatkan kita kembali ketika beberapa tahun silam sumbangsih Andrea Hirata melalui karyanya terhadap kebudayaan Belitong dihargai dengan diresmikannya Pulau Belitong sebagai kota Laskar Pelangi.

Bahan Bacaan
• Hirata, Andrea. 2010. Cinta di Dalam Gelas. Yogyakarta: Bentang
• WWW. andre-hirata.com
• Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Lomba Mengulas Karya Sastra 2006. Direktorat Jendral Manajemen   Pendidikan Dasar dan Menengah. Kegiatan pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta 2007.
• Makalah Nina S. tentang Teori Linguistik

TUKAR PIKIRAN

Sipulan K. Langka
Sipulan K. Langka, Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura.

ANTARA JEMBATAN SURAMADU DAN KERATON YOGYAKARTA
(LAGU SEORANG SKEPTIS karya Matroni el-Moezany)






        Bicara Madura, tak cukup rasanya tanpa pula membicarakan geliat kepenyairan di pulau garam itu. Tentu, tak hanya soal Celurit dan Carok yang justru cenderung berkonotasi negatif. Madura, konon sejak dahulu kala telah melahirkan banyak penyair dan atau sastrawan yang kiprahnya begitu penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Sebut saja D. Zawawi Imron, misalnya. Bertolak dari hal demikian, kiranya tidak terlalu berlebihan bila seorang pernah menyatakan bahwa kepenyairan di Madura ibarat tumbuhnya rumput di musim hujan.
        Dan sejak sekitar tahun 2000-an, terlebih bagi angkatan penyair muda, Yagyakarta seperti telah menjadi rumah kedua dimana mereka memperjuangkan identitas kepenyairannya. Beberapa dari mereka setidaknya telah mampu berbicara di berbagai media massa dan kegiatan-kegiatan kesusastraan lainnya.
        Nah, puisi Lagu Seorang Skeptis yang ditulis oleh Matroni ini secara tidak langsung hendak berbicara hubungan antara kedua daerah tersebut. Barangkali secara pribadi, penyair menyadari betul posisinya di tengah lingkungan seiring perkembangannya –bagaimana kondisi Madura pasca pembangunan jembatan Suramadu dan Yokyakarta yang belakangan dihadapkan pada berbagai persoalan.
        Lihat saja, misalnya penggunaan kata "Skeptis" yang ia sandingkan dengan "seorang" pada judul puisi ini, sepintas sebagai upaya untuk membebankan sebuah kondisi yang ia alami sendiri kepada siapa pun yang ia maksud sebagai ‘engkau’ dalam hal ini objeknya. Sementara si "Aku" pada: Aku di sini sendiri/Menyandang jembatan,/ misalnya, lebih merupakan ironi yang memaksa ‘hidup’ entah kepada benda maupun sesuatu yang di luar wilayah manusia.
        Hal demikian rasa-rasanya menjadi wajar ketika kekhawatiran dan kegelisahan akan metamorfosis kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pelan-perlahan tampak nyata. Suramadu tentu tidak saja menjadi solusi efektif, dalam hal ini tentang infrastruktur, tidak semata sebagai kebanggaan dan perubahan positif yang ditimbulkannya. Tentu saja, masyarakat harus juga siap dengan persoalan-persoalan yang sudah atau pun masih akan datang, termasuk perubahan dari masyarakat agraris dan nelayan menjadi industri.
        Peristiwa demikian jelas butuh disikapi secara bijak dengan tidak melupakan peninggalan leluhur baik berbentuk materi atau pun tradisi-tradisi yang bersifat ‘ajaran’. Engkau ciptakan suatu keindahan dari jauh/Sementara mesin penindas terdengar berderuh/Malam bermandikan cahaya pikir/Kegelapan menyelimuti badan keangkuhan/ kalimat-kalimat ini paling tidak menjadi alat berdamai dengan lingkungan sekaligus sebagai mediasi untuk mencapai penyadaran bersama-sama.
        Dalam pada ini, mari singkirkan terlebih dahulu soal egoisme, soal kebenaran tunggal setiap individu; bahwa kita tidak butuh apa pun status, kecuali hidup dalam ketentraman dan damai. Dan Yokyakarta telah membuktikannya, bahwa kearifan lokal lebih dari sekedar urusan politik dan ambisi kekuasaan.
        … berjuang membela kerajaanmu/ Perjuangan untuk mempertahankan tanah kelahiran, rumah, dan lingkungan yang berarti sebuah identitas, sebagaimana memperjuangkan identitas kepenyairan, kira-kira.
        Sedikit; sebelum saya akhiri, menyangkut penggunaan kalimat-kalimatnya, beberapa hal dalam puisi ini tampak dipaksakan sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Terlepas dari sengaja atau tidak, bait-bait akhir yang menggunakan rima “U” terasa kurang sedap di lidah sementara dari awal dibiarkan bebas begitu saja. Pun pengulangan kata "engkau" yang mengesankan adanya keraguan antara menjadikannya sebagai kalimat awal setelah titik atau sekedar jeda sesaat oleh koma. Kiranya demikian sajalah soal tetek-bengek tata bahasa, kalimat, kata, dan hal-hal lain yang menyangkutnya, bukankah semuanya kembali kepada selera.

Rabu, 30 Maret 2011

WARTA

Dari Redaksi

Salam jabat tangan paling hangat.

       Puji sukur atas karunia sehat dan kesempatan yang Tuhan berikan kepada sekalian hambaNya. Puji sukur kepadaNya atas daya-upaya dan kebesaran hati kami dan rekan-rekan untuk menerbitkan Buletin SAJAK ini untuk kali pertama. Selanjutnya kami sampaikan pula permohonan maaf atas keterlambatan ini. Sehubungan dengan satu dua hal, rencana yang sebelumnya terbitan perdana akan dilakukan pada tanggal 15 maret 2011, dengan tidak mengurangi semangat, Redaksi memutuskan untuk menundanya hingga akhir bulan dan itu berlaku pula untuk terbitan-terbitan berikutnya. Sekali lagi mohon maaf dan harap maklum adanya.

       Beberapa informasi yang kiranya penting untuk disampaikan bahwa puji sukur Buletin ini ternyata mendapat sambutan dan respon baik dari rekan-rekan di berbagai wilayah, terlebih mereka yang telah sudi mengirimkan tulisannya dan bagi tulisan yang belum dimuat tetap akan dipertimbangkan pada terbitan selanjutnya. Kemudian perlu kami sampaikan juga bahwa isi keseluruhan Buletin ini pada setiap terbitannya oleh Redaksi disebar pula kepada khalayak via email dalam bentuk soft copy, terlebih kepada penyumbang tulisan baik telah dan atu pun belum dimuat. Hal ini dilakukan tidak lain sebagai salah satu upaya Redaksi untuk lebih efektif dalam mempublikasikannya.

       Adapun materi Tukar Pikiran yang akan datang adalah Sajak Matroni el-Moezany “LAGU SEORANG SKEPTIS”. Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan. Terima kasih. Mari berjuang!

Salam jabat tangan paling hangat.

Redaksi, 31 Maret 2011
Bona P. Silaban

SIULAN







Sajak-Sajak Matroni el-Moezany
Matroni el-Moezany, Penyair keliharan Sumenep, Madura, bergiat di komunitas Kutub Yogyakarta. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (Obsesi Press, 2010) “Madzhab Kutub” (Pustaka Pujangga, 2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini Pengok, Demangan, Yogyakarta.

LAGU SEORANG SKEPTIS

Engkau melangkah jauh, sayang
Engkau mandi keraguan
Aku di sini sendiri
Menyandang jembatan, berbendera masa depan
Di antara mesin-mesin di kota Jogja
Engkau berkerudung putih di kepalamu
Engkau ciptakan suatu keindahan dari jauh
Sementara mesin penindas terdengar berderuh
Malam bermandikan cahaya pikir
Kegelapan menyelimuti badan keangkuhan
Engkau tetap menjadi pelangi melingkari matahari
Tatapanku habis
Terlalu silau melihatmu dari jauh
Di saat seperti itu
Engkau memikirkan sesuatu
Bersama ilmu yang engkau dapatkan dulu
Di dalam berjuang membela kerajaanmu

2011

BELAIAN TAHAJJUD MALAM

Belaian malam menggigil
Mengusap tubuhmu
Mengusap wajahku
Di sajadah panjang kedamaian

Sikap malam begitu sunyi
Memanggilku untuk pergi ke cakrawala
Melihat pesta bintang
Dengan beribu cahaya
Dan senyum manis yang menggetarkan

Aku suka mereka, dia dan aku
Sepasang waktu
Kuajak ia pergi
Mengisi tahajjud malam
Membelam kelam malam
Untuk menutupi pintu semesta
Yang kian hari tambah lebar
Dengan hidup kurang ajar

Padahal aku masih belajar mencintaimu

04 Januari 2011

NASEHAT MALAM


Engkau tinggal separuh perjalanan
Sepantasnya ruang dirimu menjadi rumah kesejukan

Membuat generasi lebih indah
Menanam modal kebermaknaan
Mengisi waktu kehampaan dengan cahaya

Separuhmu jangan sampai larut

Aku berkata, karena aku bagian dari dirimu
Selebihnya engkau berdiri sendiri di tepi sana
Melukis hidupmu lebih indah
Membelanjakan kata untuk masa depanmu

Pengok, 2011


Sajak-sajak Moh. Ghufron Cholid
Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465. Karya-karya lainnya bisa dibaca di mohghufroncholid.blogspot.com dan media online lainnya.

KAU BERBARING ISTIMEWA
: Alm. K. Tajul Anwar

Kau berbaring istimewa
Tanah-tanah meraung doa
Keranda masa kau berikan setia
Rambu jalan bunga-bunga

Kamar Hati,2011

MANDI AIRMATA DOA
: KH. Moh. Idris Jauhari

Mandi airmata doa
Ingin kutuntaskan semua
Manik-manik rasa
Membatik di kain masa
Melukis segala surga
Yang pernah kita tata

Mandi airmata doa
Kumau kau tegak sediakala
Berbagi cahaya ridla
Karunia Maha Cinta

Kamar Hati,13 Februari 2011

MEMAKNAI MAULID NABI

Gunung-gunung shalawat
Menyangga langit nubuat

Ayat-ayat i'tiraf
Adalah burung-burung ababil
Menyulap tentara-tentara gajah
Semisal daun-daun dimakan ulat bergairah

Kamar Hati,12 Rabiul Awal 1432 H


Sajak-sajak Ghulam Sy.
Ghulam Syahril Mubarok, Lahir di Lamongan 17 Maret 1991. Aktif dalam diskusi sastra yang didapuk oleh Sastrawan kota tersebut; sebut saja, Herry Lamongan, Pringgo HR, Alang Khoiruddin dan A. Zaini, juga di Sanggar Sastra Telaga Biru. karya-karyanya berhasil dimuat dalam majalah-majalah lokal seperti, Aliqroh, SENYum, Radar Bojonegoro, RAIB, dll. Yang sempat terbukukan bersama penyair muda Lamongan, Daun-daun Luruh (DKL, 2008), Diktat Kejam (ErEm Press, 2007), dan GSFI: Estuari Sastra Indonesia (Inspirations Publiser, 2011).

CERITA BUSUNG

Tumpukan kitab-kitab di sampingmu itu
Pena biru yang menimpali kitab-kitab
Dan songkok hitam pekat seperti malam kehilanganmu
Semua kau taruh di atas nampan yang longgar
Layaknya penganan enteng saja
Adalah sebuah tanda malam yang kau selingkuhi dengan niatmu
Untuk menumbuhkan sebaris tulisan yang berkilau

Halah, itu kan ceritacerita busung yang kau racik waktu itu
Padahal sebelumnya kau niatkan segala untuk menyemaikan langkah kosongmu
Hidupmu hanyalah keangkuhanmu
Dan senyum yang pernah kau lempar itu,
Juga hanya senyum yang kosong
Yang begitu indah kau rangkai untuk menimpali lelakumu

Kau mulai menuliskan sederet katakata yang terlupa
Meninjuku pada heran yang tak berpulang pada tepi
Sebab, ternyata kau masih juga pongah
Seperti pada ceritacerita busung


KUTUNGGU SAPAMU

Adalah desiran nafas keluhanku
Saat detik tak bisa kutelaah selepas pertemuan itu
Dan pergimu merupakan pesakitanku yang ranum
Jika waktu itu kau kembali tuk melangsungkan percakapan kecil
Mungkin kini aku tak sederita ini, derita yang terangkum dalam album kerinduan
Dari seruanku yang tajam, masih juga hatimu tak tersayat,
Bahkan sampai potongan surat-surat kecil yang menjerit,
Yang dulu sempat kukirimkan padamu itu, kau malah mengabai lebai
Bangunkan hatimu dengan cerita lalu yang mempesona,
Seperti kau menuliskan namamunamaku di sudut batu nisan yang terdiam mematung
Di simpang jl. Ahmad Yani no. 25 kutunggu sapamu
Sapa yang telah lama tak kunjung kau tanam juga
Sapa dzikir rerindu sebagai pelafalan cinta
di ujung rinduku yang mengkerut
Kutunggu sapamu

EPISODE

Cerpen Mieny Angel
Mieny Angel, kelahiran Gunungkidul 23 Februari 1989. Mempunyai nama asli Tri Darmini. Perempuan yang insyaAllah akan senantiasa belajar dalam hidupnya. Mencintai dunia tulis menulis sejak SMA, sempat vakum dan memulai menulis lagi akhir 2010. Alhamdulilah, sejak saat itu karyanya diakui banyak publik. Salah satu cita-citanya adalah menjadi seorang penulis yang bermanfaat untuk semua. Beberapa coretannya bisa diintip di rumah pribadinya http://tridarmini.blogspot.com/ Bisa disapa di twitter @mieny_angel juga email: mieny_angel@yahoo.com







KEPADA HUJAN KUKIRIM RINDU
:MJ, yang selalu mengingatku lewat hujan.

       Lagi, hujan membasahi pelataran rumahku. Dari balik kaca jendela aku dapat menyaksikan butiran kristal air yang saling berjatuhan. Bebas, luruh, jatuh meresap ke tanah, menguap jikalau mentari muncul. Menjadikannya awan lalu kembali hujan, dan begitu seterusnya. Lagi dan lagi berulang.
       Hujan. Ah, ini sudah tiga hari hujan berturut-turut menamani pagiku. Aku hanya akan menikmati hujan dari balik jendela, saja. Sebab tak mungkin aku berlari menerjangnya di pelataran rumahku. Dalam kenyataannya aku ingin menegadahkan tangan dan membiarkan tubuh ini basah oleh terpaan hujan. Aku ingin seperti itu, tapi tidak. Aku tidak bisa seperti itu, lagi.
       Aku adalah gadis pencinta hujan, dulu bahkan sampai detik ini. Hujan akan menghapus air mataku sesegera mungkin. Aku dulu adalah seorang yang lemah, mungkin sampai detik ini. Aku adalah seorang yang selalu kalah diperolok oleh teman-teman sekolahku. Namun keadaan saat itu lebih menguntungkan dari detik ini.
       Dan ketika aku menangis, langit pun seakan ikut menangis, mengirimkan hujan untuk menemaniku. Membasuh air mata di pipiku. Aku akan pura-pura bermain hujan untuk menyembunyikan air mataku. Membiarkannya jatuh bersama dengan butiran hujan.
       Ah, aku cinta hujan.
       Hujan yang dulu dan hujan hari ini masih sama bagiku. Sahabat dalam kesendirianku.
       Aku beranjak dari jendela menuju meja riasku. Sebuah foto manis terpampang di dalam bingkai. Dua orang manusia, aku jelas mengenali siapa itu. Seorang pria mengenakan batik merah dan seorang gadis memakai batik coklat, terusan. Pria itu tak lain adalah sahabatku, Januar. Sedang sebelahnya itu adalah aku. Ya, aku ingat dengan jelas itu adalah fotoku dan dia tiga tahun yang lalu. Itulah dimana pertama kali aku dan dia saling jumpa. Lagi, dan lagi-lagi perjumpaan itu ditemani oleh sang hujan.
       “Mimin.” Sapanya saat itu.
       “Januar. Ini beneran kamu?”
       “Kamu pikir?”
       Aku tak akan melupakannya. Tak akan. Persahabatanku dengannya memang telah lama tercipta namun baru sekali itu aku dan dia bertatap muka. Kami adalah seorang yang sama-sama mencintai hujan. Entah apa sebabnya, semakin hari hubungan kami makin akrab. Tak jarang jika hujan datang kami akan saling memikirkan dan seakan ada ikatan batin, walau terbentang jarang berpuluh kilau komunikasi kami tetap jalan.
       Seperti suatu sore sebelum hari ini, masih susana hujan dia ber-sms padaku: “Kala butir air langit menepuk debu, masihkah kau mengingatku?”
       Tak perlu kujawab. Aku tahu maksudmu. Januar aku akan selalu mengingatmu.
       Lagi, bingkai foto kuajak mendekati jendela. Manikmati hujan yang lebat bersama angin yang sedikit ganas. Mengombang-ambingkan pohon mangga di halaman rumahku.
       “Januar, kamu tahu gak? Aku lagi bermain bersama bulir air langit, aku bersama hujan.” Kataku lirih sambil menatap hujan dan foto dalam tanganku bergantian. Sementara jari telunjukku mengelus foto dalam bingkai itu.
       “Aku rindu kamu Januar. Kita telah lama tak jumpa. Kamu tahu gak? Jika hujan turun, air mataku pun ikut menetes. Entah sejak kapan aku menjadi wanita yang cengeng makin cengeng.” Bulir hangat air mata mulai membasahi pipiku.
       Aku ingin sekali detik ini pula aku berlari, memeluk hujan. Aku bisa.
       Hujan, kenapa aku harus menyimpan rindu padanya?
       Hujan, kenapa pula kau menyatukan kami?
       Hujan, oh hujan kapan kau mempertemukanku lagi dengannya?
       Hujan, aku mencintaimu juga sahabatku.
       Secarik kertas kutarik tak lupa tinta kugenggam.
       “Januar, aku akan tuliskan sebuah puisi lagi. Satu puisi lagi pagi ini maka genap1095 puisi. Itu berarti 1095 hari, alias tiga tahun.” Ucapku sambil senyum menatap foto.
       Setelah pertemuan pertama, tiga tahun yang lalu, aku selalu menuliskan sehari satu puisi. Puisi khusus untuknya. Aku telah berikrar janji pada diriku sendiri dan hujan kalau suatu hari nanti aku dipertemukan dengannya, akan kuserahkan sebendel puisi untuknya. Puisi hujan pengobat rinduku.

       BENING HUJAN

       Hujan kembali menemaniku
       Menarik otakku untuk memikirkan tentangmu(lagi)
       Dalam tiap bulir tetes hujan yang tumpah
       Ada satu pengharapan untukmu
       Ku dapat melihat bayanganmu
       Pada setiap air yang terjebak di dedaunan
       Engkau tersenyum dan melambaikan tangan
       Hujan telah menyatu dalam tubuhmu,tubuhku dan kisah kita
       Begitu rencana-Nya
       Merekatkan jiwa kita lewat hujan
                                                        -Mieny Angel

       Aku tersenyum puas. Akhirnya 1095 puisi selesai pagi ini. Hujan pun seketika berhenti. Kenapa? Padahal aku masih berharap hujan turun lagi. Aku masih merindukannya.
       “Berjanjilan padaku!” kata dia saat pertama kita bertemu.
       “Tentang?”
       “Rindumu akan kau titipkan pada hujan.” Aku tersenyum, tersipu mendengarnya.
       “Berjanjilah kau akan merindukanku!”
       “Kenapa kau seyakin itu?”
       “Karena aku akan jauh.”
       “Kenapa harus bersama hujan aku titip rindu?”
       “Karena hujan adalah lem perekat kita.”
       “Aku tak akan merindukanmu, Januar.”
       “Kau akan merindukanku, Mimin. Hujan akan mengingatkan bahwa ada satu nyawa yang kau rindu. Jauh dalam lubuk hatimu kau akan meronta untuk sebuah kerinduan.”
       Benar. Semua perkataan dia saat itu benar. Aku benar merindukan satu nyawa, itu adalah dia, Januar sahabatku. Dan ketika hujan tiba, rindu itu makin mencekik hatiku, kuat.
       Andai keadaan tak seperti ini, aku pastikan hari ini aku di dekatnya. Menjemputnya di bandara. Tapi tidak. Maafkan aku, aku tak bisa menjemput kepulanganmu dari Perancis seperti janjiku saat pertama kali kita bertemu dan saat perpisahan denganmu tiga tahun yang lalu.
Keadaan kita telah berbeda.
       Dia telah menjadi seorang Master Desainer handal seperti mimpinya terbang ke Perancis. Sedang aku, andai saja dia tahu. Mungkin sebaiknya dia tak pernah tahu.
       Aku bangkit dari jendela. Duduk manis di kursi roda hendak menyaksikan bayangannya di dalam air yang terjebak di daun mangkukan.
       Kursi roda ini adalah alasan semuanya. Kukubur semua rinduku padanya. Kecelakaan di pertemuan pertama itu telah membuat dua kakiku lumpuh. Aku tak sanggup menemuinya dalam keadaan seperti ini.
Aku hanya mampu terus merindukannya.
       Dan kepada engkau hujan kutitipkan rinduku untukmu. Kirimkan rinduku selalu bersama bulir air langit yang menepuk debu.


Wonosari, Maret 28.2011 / 22.36

RE-WORD

Esai Sipulan K. Langka
Sipulan K. Langka, Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura.





‘DILARANG KENCING DI SINI !’

       Tak perlu pura-pura merasa aneh sebab sekedar geleng-geleng kepala tidak pernah bisa menyelesaikan masalah. Barangkali hanya patut prihatin dan itu pun entah apa maknanya bila hanya disampaikan sebagai ucapan ‘bela sungkawa’, tanpa upaya.
       Di tengah kedongkolan atas persoalan-persolan yang membelit Negeri ini; persoalan yang muncul dari persoalan, persoalan yang sengaja ditimbulkan, dan persoalan yang tidak selesai-selesai, kerap kali saya mengira inilah mengapa banyak orang lain menimbang kita adalah bangsa yang berjalan di tempat. Atau jangan-jangan malah mundur? Tetapi tentu itu sudah omong ‘basi’ yang (bahkan seolah) kita dengar sejak masih dikandung Ibu.
       Atas persoalan itu maka beruntunglah para sineas yang kreatif dengan tidak hanya memamfaatkannya sebagai lumbung penghasilan tetapi juga berusaha mendidik orang lain dengan karya-karyanya, menggugah kesadaran dan menggelitik mereka yang merasa menjadi objek cerita betapa pun belakangan ini mereka acuh dan menganggap itu justru sebagai hiburan belaka. Tentu apresiasi terhadap karya-karya semacam itu selayaknya diacungi jempol dan mendapat tepuk tangan paling meriah.
       Tak berlebihan bila bangsa ini disebut butuh terhadap tayangan-tayangan yang mencerdaskan, yang mengajak mereka berfikir ketika menontonnya dan memberi inspirasi. Lagipula ini akhirnya menjadi alternatif bagaimana kita dengan mudah mengetahui dan memahami fenomena yang sedang melanda Negeri kita sendiri, memahami sejarah, juga peradaban sebagai bangsa yang berbudaya. Juga tidak berlebihan jika media (dalam hal ini) televisi disebut mutlak melakukannya, seyogyanya.
       Heh, Tapi lihatlah yang terjadi belakangan ini. Begitu remot dipencet, begitu layar dibuka di bioskop misalnya, mata kita dipaksa melotot kepada -maaf– ketiak dan selangkangan yang diumbar-obral tanpa motivasi kecuali daya tarik sensualitas belaka. Tentu tidak semua, tetapi dengan berat hati harus diakui bahwa itu telah menjadi tren masa kini di Negeri ini.
Sementara di luar sana, mereka bersaing siapa paling kreatif, paling imajinatif, paling wah dan paling diterima oleh khalayak. Kita di sini dipaksa menerima tayangan dari ide-ide yang hanya berujung pada finansial, ketenaran, dan sejenisnya. Entah moral nyangkut dimana, wibawa sebagai bangsa yang berbudaya?
       Walah publik figur kok sampek segitunya, bangun tidur saja sampek diurus, pake baju ini, pake sabun itu. Seneng miara kucing atau anjing toh apa istimewanya? Curhat rumah tangga kok di telivisi, lah mending baik, wong itu lagi berantem. Bilangnya ngikutin pangsa pasar,Ya ya gimana orang tidak suka wong sudah kebiasaan dari kecil, sampe-sampe orang kampung nun jauh di pelosok sana ribut soal sinetron yang bintang kesayangannya dianiaya. Gara-gara pertimbangan pasar pula rame-rame mereka bikin film yang katanya bergenre horor,pas ditonton, serem kagak, (maaf) mesum iya. Sekedar omong ringan, beberapa waktu lalu, warga Gunung Kidul ‘ngmuk’ gara-gara merasa dilecehkan oleh film horor yang dianggap sarat tahayul dan adegan sensual.
       Dari fenomena itu akhirnya kesan yang ditimbulkan pun seolah mereka sudah kehabisan ide kreatif, padahal ini hanya persoalan sikap dan itikat baik dalam membangun. Bila orientasinya hanya pasar dan itu artinya uang, yang ada hanyalah pernyataan tidak langsung “apa peduli saya”. Sehingga Yang terjadi kemudian adalah mereka diciptakan oleh pasar bukan menciptakan pasar. Inilah sesungguhnya masalah utama yang membuat khalayak terlanjur menyenangi tayangan-tayangan ‘berbahaya’ itu.
       Tak jarang ditemukan pada sinetron misalnya, kualitas cerita tak lagi menjadi pertimbangan ketika menggarapnya. Yang paling penting hanyalah seorang pemeran punya sesuatu yang ‘menjual’, lebih-lebih menyangkut fisik. Mereka tak perlu susah-susah belajar atau sekolah kesenian kalau hanya butuh adegan nangis dan tertawa. Kondisi ini makin diperparah dengan pola Kejar Tayang.
       Bangsa Indonesia seharusnya bisa memamfaatkan peluang yang terbuka lebar di hadapan mereka. Soal ide, bagaimana mungkin kita kehabisan stok cerita ditengah berjimbunnya para penulis yang dari segi kualitas tak kalah hebat dari orang luar sana. Seorang pakar bahkan sempat menegaskan, di suatu daerah di Indonesia, pertumbuhan penulis sama halnya dengan rumput kala musim hujan.
       Memang, hal ini tentu tak bisa dilakukan dengan serta-merta dan semudah lidah bicara. Namun demikian upaya untuk melakukan berubahan ke arah yang lebih baik itu harus mulai ditanamkan sebagai tanggung-jawab untuk bersama-sama membangun sebuah tatanan bangsa yang berbudi-luhur, dan termasuk melalui media tayang. (bdg)

TUKAR PIKIRAN






Frezi Amirulloh
Freszi Amirulloh, Mahasiswa Karawitan ISI Bandung asal Subang.

RENDRA DAN SAJAK-SAJAKNYA

       Sebelumnya, saya ucap salam hormat kepada mendiang WS. Rendra. Saya tak tahu apa-apa. Sekedar mengira ini menjadi pelipur kerinduan.
       Rendra dan sajak-sajaknya, bila saya umpamakan, ibarat air dan ikan di dalamnya –setiap kali kita memancing selalu ada haru dan ketegangan yang susah disembunyikan pada tiap hentak senar meski kemudian saat kita tarik, ikan itu kadang kala terlepas. Pada saat itulah justru rasa penasaran membuat kita ingin terus mencobanya berulang kali.
       Kesederhanaan bahasa dan kalimatnya berikut peristiwa yang dihadirkan berbanding terbalik dengan upaya untuk memahaminya secara penuh, namun demikian setidaknya kita dapat menangkap kemana arah sedang dituju, aroma dan suasana yang tiba-tiba digerakkan oleh pikiran, dan sungguh kita menikmatinya.
       “Aku tulis sajak ini/ untuk menghibur hatimu”, ia bahkan membicarakan usia senja dengan kemesraan dan ‘kemapanan’ diri dalam hidup, bukan dengan keputus-asaan dan kepasrahan.


Muhammad Santana
Muhammad Santana, Aktifis Sanggar EDAS (Etnika Daya Sora) Bogor.

WS. RENDRA, 200 KARAKTER

       Monolog ”Burung Merak” oleh Putu Wijaya beberapa waktu yang lalu, beberapa waktu sepeninggalnya. Dari buklet (yang sekaligus bagian dari isi Monolog), beberapa penggal kalimat yang sempat saya ingat: aku tidak tahu apa kau setuju, tapi aku khawatir. Makin lama makin banyak kelak orang yang tidak pernah mengenal kamu akan bicara tentang kamu. Mereka akan cendrung membuatmu sebagai dongeng. Pada bagian lain: ini Negeri macam apa, kok membiarkan Sastrawan yang sebesar itu sampai cari komisi dari jual lukisanku untuk membiayai keluarganya! “Kata Hardi gemas.”
       Bukan memuji, tetapi tampaknya memang tak cukup sederhana membicarakan Rendra dan karya-karyanya, apalagi (maaf) dengan hanya 200 karakter yang sebentar lagi tulisan ini akan habis sebelum sempat berbicara apa-apa. Tapi biarlah, semoga ini pun menjadi upaya yang baik, yang positif.
       SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA, ini menjadi luar biasa bukan hanya karena Rendra yang menulisnya, kita bisa lihat bagaimana keharmonisan hidup dibangun bahkan ketika usia sudah ‘bau tanah’. Bagaimana seorang bisa memaknai dan menikmati hidup dari hal-hal yang paling sederhana dalam perjalanan hidup itu sendiri. Seorang Tua bersama istrinya tengah bernostalgia. Dan lebih dari sekedar mengenang masa lalu, mereka ditantang seratus dewa untuk ‘bangun’.
       Sepintas mungkin sedikit tampak ganjil. Dalam konteks dramatik, bukankah usia 90 tahun-an seseorang pada umumnya cendrung ‘kembali’ pada sifat kekanak-kanakannya, dan itu tak jelas terlihat ketika si”aku” berarti Seorang Tua. Tetapi bukankah juga tidak ada Penyair yang punya banyak waktu untuk merepotkan diri dengan soal-soal macam itu. Jadi biarlah!
       Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma,namun tampaknya tidak dengan tulisan ini, sementara ini. Mudah-mudahan ada jumpa lain kali.

Senin, 21 Februari 2011

Materi Tukar Pikiran (terbitan perdana)

SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.

Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.

Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.

Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.

Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.

Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.


WS. Rendra,
Sajak-sajak sepatu tua,1972

Undangan menulis di Buletin Sastra Jalan Setapak (SAJAK)

Date Line 08 Maret 2011

Dengan berbesar-hati, Buletin Sastra Jalan Setapak (SAJAK) mengundang khalayak utuk sudi berpartisipasi mengirimkan karya berharga berupa tulisan satra dalam penerbitan perdana media ini pada tanggal 15 Maret 2011.
Adapun berbagai rubrik yang tersedia sebagai berikut:

1. WARTA (catatan redaksi dan atau dari khlayak)
Ket. Rubrik ini memuat catatan singkat yang dianggap penting untuk redaksi dan juga partisipan sampaikan, berupa event kesenian, kegiatan kesusastraan, dll.
2. SIULAN (puisi)
Ket. pada setiap terbitan, rubrik ini akan memuat karya 2 penulis, setiap penulis mengirimkan 5 judul puisi. Selanjutnya masing-masing dipilih 3 judul diantaranya untuk dimuat.
3. EPISODE (cerpen, panjang antara 4-7 halaman)
4. RE-WORD (resensi, esai, panjang antara 2-4 halaman)
5. TUKAR PIKIRAN
Ket. Rubrik ini tersedia untuk membicarakan (menelaah) karya-karya sastra yang pernah dimuat di Buletin ini baik berbentuk puisi atau cerpen tertentu sebagaimana materi yang ditentukan oleh redaksi. Panjang tulisan tidak lebih dari 200 karakter (sekitar setengah halaman a4). Dan untuk materi terbitan perdana adalah puisi karya WS. Rendra “SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA” (selengkapnya lihat di akun Fb BULETIN SAJAK atau Blogger: http://buletinsajak.blogspot.com/ )

Ketentuan:

1. Tulisan diketik dengan format Rich Text Format (RTF) dan dikirim melalui email dengan bentuk LAMPIRAN ke: buletinsajak@yahoo.com
2. Sertakan biografi singkat penulis di akhir tulisan.
3. Batas akhir pengiriman tanggal 08 Maret 2011

Catatan:
1. Untuk selanjutnya Buletin Sastra Jalan Setapak (SAJAK) akan terbit setiap akhir bulan secara online di Blog: http://buletinsajak.blogspot.com/
2. Beribu-ribu maaf, atas nama pribadi, redaksi belum bisa memberikan imbalan apa-apa selain ucapan terima kasih yang tak terhingga bagi segenap partisipan. Semoga bisa dimaklumi adanya.

Adalah satu kebanggaan bagi kami atas partisipasi dan kepedulian yang khalayak berikan. Salam jabat tangan paling hangat, sekian dan terima kasih.

Pimred
Bona P. Silaban

Sabtu, 19 Februari 2011

Tentang Buletin Sasta Jalan Setapak (SAJAK)

Puji syukur atas karunia yang Tuhan limpahkan begitu tak terhingga atas diri makhluknya; tentang waktu, kesempatan, dan daya untuk malakukan apa pun selagi sanggup dan mau melakukannya.

Seiring karunia Tuhan pula, tepatnya pada tanggal 18 Februari 2011, Buletin Sastra Jalan Setapak yang disingkat menjadi SAJAK resmi dibentuk di Kota Bandung. Tidak lain dan tidak bukan, sungguh ini bermula dari keinginan untuk belajar, saling berbagi, dan ikut serta menambah-ramai kesusastraan bumi pertiwi terkasih ini (seperti apa dan bagaimana pun kondisinya).

Bersama besar harap dan doa, kiranya media ini benar-benar bermamfaat untuk kita nikmati bersama. Semoga!


Salam jabat tangan paling hangat.



Bandung, 18 Februari 2011