Cerpen GAMANG BERET
Gamang Baret, kelahiran Medan 1987. Kegandrungannya terhadap teaterlah yang membuat ia 'terpaksa' menulis.
LELAYANG RINDU
Setangkai janji layu di tanganmu dengan seuntai kata-kata menguncup di pucuk kalimat yang lembab menenun mulutku hingga sekujur tubuh beku. Di ujung dermaga itu kaulepaskan merpati dari sangkar hatimu membubung tinggi, jauh dan semakin jauh dari pandangku . Kepak sayapnya mengusap ketegaran sembari menaburkan keikhlasan di atas harapan yang telah buntu. Sementara itu kutetesi laut dengan air mata hingga mengeruh seiring ombak menari sembari melagukan syair-syair pilu.
Layar perahu itu tergerai, menjala langkahmu untuk mengarungi samudera biru. Dialah cadik yang akan menuntun dan memenuhi masa depanmu. Tak ada lagi yang mampu kuperbuat untuk menunda keberangkatanmu. Sempat kuberbisik kepada angin tentang keluh agar ragu meniup perjalananmu namun tetap juga tak berlaku.
Telah kaurancang kalimat perpisahan di jauh-jauh hari dengan kata maaf ialah akhir kesimpulannya dan tak akan ada lagi yang terselip di bilik-bilik hati yang akan membuatmu kembali; berpaling wajahmu dari teras pandangku meski kupagari dengan air mata namun tetap kaubungkus dengan kata-kata yang semula telah bicara.
Kau jauh dan semakin jauh ditelan layung sore itu hingga hilang di ujung mataku memandang. Dan aku pun membelakangi peristiwa itu dengan riasan air mata yang mengering di wajah pula dengan sekujur kebimbangan yang memberatkan niatku untuk meneruskan perjalanan pulang. Semakin ikal dan juga telah kusut di pikiranku tentang aku yang dirundung beribu galau.
Kala itu, enggan kuperbincangkan impian karena masih rumit mencari jalan keluar. Persoalan rasa yang terus mengganggu. Tanpa sadar aku telah kau titipkan di tempat itu, bekas kita menyulam waktu dengan gurau dan haru. Entah aku harus bagaimana untuk melalui semua ini. Selalu, aku menjumpaimu bermain di halaman dan lamunanku.
Kausajikan sepotong roti coklat dengan segelas susu menjelang malam, sebuah kecup kening dan pelukan hangat dengan selembar kata pengantar tidur meninabobokkanku. Dan ketika jendela pagi terbuka, di sudut timur kau lantunkan salam pagi membangunkan raga yang letih sehabis kelana dalam mimpi. Itulah kenangan yang dinamai masa lalu. Hingga kini, semua itu masih sepat tercicip-ingat.
Aku menoleh, sekedar memastikan awan berebut mendung; rintik-rintik memulai gerimis menghidupkan kembali yang sungguh telah kupaksa mati. Kau begitu sesak dalam pikiranku dan aku pun belum sanggup memperdayanya.
Tetapi kini, di sini aku akan memulainya, inilah hari dimana aku belajar tentang hal-hal yang baru, mempelajari rumus bagaimana melupakan masa lalu serta membakar sobekan perjalanan dari catatan kelabu.
Jakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar