Andreas Candra, Lahir di Surabaya,saat ini aktif berteater dan belajar seni peran di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
KOMUNIKASI BUDAYA
Dalam Novel Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata
“Jika kuseduhkan kopi, ayahmu menghirupnya pelan-pelan lalu tersenyum padaku”. Meski tak terkatakan , anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas membalas, dan kopi itu adalah Cinta di Dalam Gelas. (Andrea Hirata. Cinta di Dalam Gelas, Hal: 11)
Menurut Bekti Patria Dwi Hastuti dalam salah satu tulisannya, mengatakan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Keberadaan sastra tidak lepas dari masyarakat dan kenyataan sosial di sekelingnya. Hal itu pun tampaknya ditangkap dengan baik oleh Andrea Hirata sebagai modal utama untuk menulis Novel-novelnya. Melalui gaya bahasa yang ‘renyah’, lebih dari sekedar novel, Andrea seperi sedang menulis sebuah buku untuk bahan Ajar Antropologi, Sosiologi, atau bahkan sejarah.
Hal ini dengan jelas terlihat dari penuturan bahasa yang diraciknya dengan segala persoalan yang menjadi poin of view cerita –bagaimana Andrea Hirata mampu menjadikan tema kopi sebagai sebuah pembahasan untuk mengungkap segala bentuk kebiasaan orang-orang Belitong pada umumnya. Gaya penuturan bahasa semacam itu kemudian mampu membuat pembaca (termasuk saya pribadi) seolah-olah, entah sejak kapan menjadi bagian dari warga Belitong ketika membaca novel tersebut.
Kopi dalam novel ini akhirnya tidak hanya menjadi sekedar minuman yang bisa dengan sederhana orang-orang memaknainya. Dalam novel ini kita akan menemukan sebuah realitas yang sepintas tampak berlebihan tentang Kopi, bagaimana rasa penasarannya seorang isteri tentang rasa kopi dari warung kopi yang katanya lebih enak dari kopi buatannya. Kemudian diam-diam dia membeli kopi dari warung kopi dan membawanya pulang dengan harapan suaminya tidak ngopi di warung. Tapi apa kata suaminya, kopi tersebut tidak seenak kopi buatan warung kopi.
Kabiasaan minum kopi di warung kopi pada masyarakat Belitong didasari oleh budaya lisan (berbicara) yang sangat tinggi sehingga warung kopi menjadi tempat yang istimewa untuk melakukan kebiasaan tersebut. Dari warung kopi itu pula komflik dibangun, dalam hal ini tentang tokoh sentralnya.
Adalah tidak terlalu muskil bagi seorang Andrea Hirata dengan latar belakang pendidikannya (meski bukan dalam ilmu sastra), ia dapat menjelaskan tetek-bengek seputar kopi dengan uraian teori-teori yang unik, seperti teori konspirasi dalam Buku Besar Peminum Kopi yang salah satunya menyebutkan bahwa: Mereka yang memesan kopi sekaligus memesan teh –adalah mereka yang baru gajian. Hal ini tentu sangat sederhana dan semua orang bisa menerimanya sebagai sebuah kenyataan dari sebuah pendapat yang sebelumnya jarang disadari.
Pada bagian lain ia menuliskan sebuah Mozaik tentang Kopi, berdasarkan cara memegang gelas. Ini menggambarkan betapa kedekatan penulis dengan lingkungan sekitar sangat intim. Ia seolah ingin mengatakan bahwa kebudayaan yang melingkupinya bisa ia sampaikan hanya dengan segelas kopi dan bagaimana beragam cara memegang gelas atau cangkir. Dalam hal ini Andrea mengangkat sebuah contoh bagimana sorang Sersan Kepala mampu mengendus kasus pencurian dengan metode tersebut.
Cultural novelis yang disandang oleh Andrea Hirata tidak hanya pada soal budaya yang ia bicarakan dalam novel-novelnya, karakter kepenulisan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan bukan semata karena apa yang ia bicarakan dan meraciknya dengan ringan (tanpa mengabaikan kedalaman intlektualitas), lain dari itu bagaimana ia mencoba menelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi di masyarakat untuk kemudian mengkomunikasikannya kembali lewat struktur dramatik yang sempurna dalam sebuah novel bertemakan perjuangan tersebut.
Komunikasi yang dibangun secara atraktif antara pembaca dengan novel ini semakin terlihat ketika Andrea Hirata pada saat-saat tertentu berganti sosok menjadi tidak ada taubahnya dengan pembaca itu sendiri. Hal-hal seperti ini sering dilakukannya dengan maksud agar apa yang hendak ia sampaikan terserap bukan hanya sebatas teks yang ada, termasuk bagaimana ia membicarakan hal yang kerap ia selubungkan dengan mengajak pembaca berfikir sebagaimana alur pikirannya.
Judul Cinta di Dalam Gelas sendiri sejatinya telah cukup mengambarkan situasi yang hendak ia paparkan dalam novel tersebut –serta-merta kita akan menangkap kesederhanaan dalam suatu jalinan rumah tangga. suatu kesederhanaan yang akhirnya menjadi luar biasa dengan hanya (lagi-lagi) muncul dari kopi. Kopi yang dimaksud di sini tentu bukan semata bentuk materi sebagai sebuah minuman melainkan bagaimana kopi itu menjadi pelantara yang menegaskan suatu perasaan tertentu; bisa cinta, kasih sayang, dan atau perhatian yang dimiliki seorang istri kepada suami dan begitu pun sebaliknya.
Hal-hal yang –sederhana- macam inilah sering kali kita abaikan dan enggan menyadarinya dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana sesuatu yang luar biasa tidak selalu berasal dari kemewahan, tidak selalu dimiliki oleh orang-orang yang dalam hidupnya serba berkecukupan. Dan tampaknya Andrea Hirata, lebih dari sekedar menceritakan sebuah kisah, ia mencoba mengaitkan kondisi carut-marut yang belakangan ini terjadi di Indonesia pada umumnya. Tentu saja dengan teknik kontras –entah sengaja atau tidak- ia menyejikannya.
Persoalan demi persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia kini terasa begitu pelik dan membuat orang-orang ‘gerah’ bukan kepalang, rasanya pun menjadi wajar ketika seseorang harus merasa menyesal lahir di Indonesia. Namun demikian, jika kita mampu menyadarinya, ternyata masih banyak hal-hal yang justru membuat kita akan merasa menyesal jika tidak lahir sebagai orang Indonesia. Dan secara tidak langsung, upaya inilah yang dimaksud oleh Andrea Hirata dengan tema budaya dan kehidupan orang Belitong yang diusungnya.
Pada bagian lain, novel ini bercerita tentang kegemaran orang Belitong bermain catur. Lebih dari sekedar permainan, akhirnya catur pun dianggap sebagai sebuah cara untuk mengangkat derajat dan harga diri apabila dapat mengalahkan lawan mainnya. Dari papan catur itu pula Andrea Hirata menemukan batu loncatan untuk berbicara emansipasi perempuan.
Enong (Panggilan Maryamah), bertekat balas dendam kepada mantan suaminya atas perbuatannya di masa lalu dengan cara mengalahkannya di perlombaan catur 17 Agustus-an. Dengan bantuan Ikal CS dan pecatur dunia Ninochka Stronovsky, akhirnya ia pun berhasil meraih impiannya untuk menjadi sang pemenang. Oleh sebab pertandingan catur pulalah ia mendapatkan nama belakang Karpov karena gaya permainannya dianggap mirip dengan Grend Master Anatoly Karpov. Jadilah ia Maryamah Karpov yang sebelumnya telah menjadi salah satu judul novel pada tatrologi Laskar Pelangi.
Kembali pada soal gender, kepedulian Andrea Hirata terhadap persoalan ini masih dalam konteks budaya Belitong dimana seorang perempuan cendrung tak mendapat ruang gerak aktifitas yang cukup luas. Ini terlihat dari proses pertandingan catur itu sendiri. Namun tak berarti gagasannya tentang gender itu melampaui batasan-batasan seorang perempuan sewajarnya. Sikap yang sepintas ‘liar’ itu tak lain untuk menggambarkan kegigihan perjuangan seorang manusia dalam meraih impiannya.
Budaya Belitong yang melatari tokoh-tokoh dalam novel tersebut memungkinkan Andrea Hirata berbicara lebih banyak pada wilayah perempuan secara kontekstual, seperti munculnya penambang perempuan pertama kali dan pemain catur, yang sebelumnya dirasa sebagai sesuatu yang tabu dan ‘janggal’. Maka untuk selanjutnya menjadi awal sejarah keterlibatan perempuan dalam aktifitas-aktifitas itu.
Kondisi kehidupan rakyat kecil seperti dalam cerita ini kiranya menjadi satu gambaran betapa kesejahtraan belumlah bisa dibilang telah berhasil dan dirasakan oleh bangsa -yang konon kaya- ini.
Akhirnya, seperti pada novel-novel sebelumnya, apresiasi terhadap sebuah kebudayaan dalam upaya melestarikannya juga terasa begitu kental dalam novel ini. Seperti sedang mengingatkan kita kembali ketika beberapa tahun silam sumbangsih Andrea Hirata melalui karyanya terhadap kebudayaan Belitong dihargai dengan diresmikannya Pulau Belitong sebagai kota Laskar Pelangi.
Bahan Bacaan
• Hirata, Andrea. 2010. Cinta di Dalam Gelas. Yogyakarta: Bentang
• WWW. andre-hirata.com
• Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Lomba Mengulas Karya Sastra 2006. Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Kegiatan pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta 2007.
• Makalah Nina S. tentang Teori Linguistik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar