Sipulan K. Langka
Sipulan K. Langka, Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura.
ANTARA JEMBATAN SURAMADU DAN KERATON YOGYAKARTA
(LAGU SEORANG SKEPTIS karya Matroni el-Moezany)
Bicara Madura, tak cukup rasanya tanpa pula membicarakan geliat kepenyairan di pulau garam itu. Tentu, tak hanya soal Celurit dan Carok yang justru cenderung berkonotasi negatif. Madura, konon sejak dahulu kala telah melahirkan banyak penyair dan atau sastrawan yang kiprahnya begitu penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Sebut saja D. Zawawi Imron, misalnya. Bertolak dari hal demikian, kiranya tidak terlalu berlebihan bila seorang pernah menyatakan bahwa kepenyairan di Madura ibarat tumbuhnya rumput di musim hujan.
Dan sejak sekitar tahun 2000-an, terlebih bagi angkatan penyair muda, Yagyakarta seperti telah menjadi rumah kedua dimana mereka memperjuangkan identitas kepenyairannya. Beberapa dari mereka setidaknya telah mampu berbicara di berbagai media massa dan kegiatan-kegiatan kesusastraan lainnya.
Nah, puisi Lagu Seorang Skeptis yang ditulis oleh Matroni ini secara tidak langsung hendak berbicara hubungan antara kedua daerah tersebut. Barangkali secara pribadi, penyair menyadari betul posisinya di tengah lingkungan seiring perkembangannya –bagaimana kondisi Madura pasca pembangunan jembatan Suramadu dan Yokyakarta yang belakangan dihadapkan pada berbagai persoalan.
Lihat saja, misalnya penggunaan kata "Skeptis" yang ia sandingkan dengan "seorang" pada judul puisi ini, sepintas sebagai upaya untuk membebankan sebuah kondisi yang ia alami sendiri kepada siapa pun yang ia maksud sebagai ‘engkau’ dalam hal ini objeknya. Sementara si "Aku" pada: Aku di sini sendiri/Menyandang jembatan,/ misalnya, lebih merupakan ironi yang memaksa ‘hidup’ entah kepada benda maupun sesuatu yang di luar wilayah manusia.
Hal demikian rasa-rasanya menjadi wajar ketika kekhawatiran dan kegelisahan akan metamorfosis kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pelan-perlahan tampak nyata. Suramadu tentu tidak saja menjadi solusi efektif, dalam hal ini tentang infrastruktur, tidak semata sebagai kebanggaan dan perubahan positif yang ditimbulkannya. Tentu saja, masyarakat harus juga siap dengan persoalan-persoalan yang sudah atau pun masih akan datang, termasuk perubahan dari masyarakat agraris dan nelayan menjadi industri.
Peristiwa demikian jelas butuh disikapi secara bijak dengan tidak melupakan peninggalan leluhur baik berbentuk materi atau pun tradisi-tradisi yang bersifat ‘ajaran’. Engkau ciptakan suatu keindahan dari jauh/Sementara mesin penindas terdengar berderuh/Malam bermandikan cahaya pikir/Kegelapan menyelimuti badan keangkuhan/ kalimat-kalimat ini paling tidak menjadi alat berdamai dengan lingkungan sekaligus sebagai mediasi untuk mencapai penyadaran bersama-sama.
Dalam pada ini, mari singkirkan terlebih dahulu soal egoisme, soal kebenaran tunggal setiap individu; bahwa kita tidak butuh apa pun status, kecuali hidup dalam ketentraman dan damai. Dan Yokyakarta telah membuktikannya, bahwa kearifan lokal lebih dari sekedar urusan politik dan ambisi kekuasaan.
… berjuang membela kerajaanmu/ Perjuangan untuk mempertahankan tanah kelahiran, rumah, dan lingkungan yang berarti sebuah identitas, sebagaimana memperjuangkan identitas kepenyairan, kira-kira.
Sedikit; sebelum saya akhiri, menyangkut penggunaan kalimat-kalimatnya, beberapa hal dalam puisi ini tampak dipaksakan sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Terlepas dari sengaja atau tidak, bait-bait akhir yang menggunakan rima “U” terasa kurang sedap di lidah sementara dari awal dibiarkan bebas begitu saja. Pun pengulangan kata "engkau" yang mengesankan adanya keraguan antara menjadikannya sebagai kalimat awal setelah titik atau sekedar jeda sesaat oleh koma. Kiranya demikian sajalah soal tetek-bengek tata bahasa, kalimat, kata, dan hal-hal lain yang menyangkutnya, bukankah semuanya kembali kepada selera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar