Awas,
BAHAYA HUJAN!
Pernahkah saudara mendengar kata-kata seperti berikut ini: maaf, saya telat. Nunggu hujan reda. Atau, Di luar sedang hujan, jadi saya tak bisa hadir. Atau, Wah saya lagi kejebak hujan. Atau, Kalau tidak hujan saya pasti hadir. Dan sebagainya.
Jelas ini bukan fenomena baru tapi barangkali sebagian orang baru menyadarinya, hujan akhirnya seolah menjadi sesuatu yang menakutkan, pun kerap kali menjadi kambing hitam entah atas ketidak-sanggupan melakukan sesuatu maupun sekedar karena malas. Seperti baru ketemu hujan saja sehingga kita merasa keteteran setiap kali menghadapinya.
Bukankah hujan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanyalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses pendinginan. Dalam hal ini, lalu apa masalahnya? Apa yang membuat kita tidak bisa berfikir sederhana tentang hujan? Ada apa dengan hujan atau dengan kita sendiri?
***
Puji sukur kepada Yang Maha Kuat atas segala limpahan daya dan upaya untuk apa pun aktifitas yang sedang kita semua kerjakan. Terima kasih untuk kawan,sodara,tetangga, dan semua yang telah senantiasa sudi mengapresiasi Buletin Sastra Jalan Setapak (SAJAK) edisi ke-2, 30 April 2011, baik sebagai penyumbang tulisan maupun pembaca sekalian. Semangat belajar, terus membaca, tetap menulis, redaksi menunggu karya-karya berharga itu.
Adapun materi TUKAR PIKIRAN edisi ke-3, 31 mei 2011 adalah cerpen LELAYANG RINDU karya Gamang Beret. Sekian dan terima kasih.
Salam jabat tangan paling hangat.
Redaksi, 30 April 2011
Bona P. Silaban
Sabtu, 30 April 2011
SIULAN
Sajak-sajak A. TRMIDZI MAS'UD
A.Tirmidzi Mas’ud, Lahir di Sumenep 17 mei 1977. Pendidikannya Sejak MI (setara SD) sampai perguruan tinggi ia tempuh di kota kelahirannya, tamat tahun 2004. Aktif di IPNU sebagai pengurus ANCAB Gapura (1992-1995), Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Madura “AMPERA” (1998). Menjabat sebagai sekretaris majalah CITA STIKA (1997-1998). Pendiri sekaligus Ketum Pusat Istighatsah Jum’at Manis Sumenep Madura (1999-sekarang). Kepala sekolah di SMA Pesantren Al-In’am Madura (2003-2008, 2010-2015). Pembina sanggar Conglet (2005-sekarang). Saat ini ia juga tercatat sebagai sekretaris umum DPD NASDEM kab. Sumenep. Dll. Riwayat kepenulisannya di mulai sejak di bangku Madrasah Tsanawiyah NASA Sumenep.
RINTIHAN JIWA
lembaran hari-harimu
selalu mengisahkan tentang kerunyaman
Negeri ini, hingga Bapak-Bapak
kita tak kuasa membacanya
atau…
memang sengaja tak mau baca.
sejuta jiwa yang merintih menadahkan tangan
diiringi banjir air mata
yang mengalir di bawah sepatu
kesewenang-wenangan penguasa,
tak lagi terdengar dan terlihat,
sebab, udara Negeri ini pengap.
kami cuma ingin berkata
beri kesempatan kami bersuara,
bahwa keadilan, hak asasi
demokrasi hanyalah
fatamorgana belaka.
Sumenep, 1997
KAKI LANGIT
Di teluk talongo ini, aku
Persembahkan sebuah kata sendu
Sebagai lukisan hati yang sedang pilu
Lantaran antara kau dan aku
Tak kunjung bersatu
Karena di putih matamu tak ada aku
Birunya langit tak mampu
Menghapus bercak merah dalam dada
Sebab hembusan bayu segara tak bisa
Mengusir lara yang telah menjelma luka.
Kau adalah kau
Aku adalah aku
Di antara kita tak mungkin bersua.
Teluk Talango, 2001
Sajak-sajak ANSHORI SAPU JAGAD
Anshori Sapu Jagad, Penyair kelahiran Sumenep Madura, perintis Lembaga Kajian Sastra Arus Sungai (LEKSAS) Kalimantan Timur. Berbagai tulisannya sebagian tersebar di media massa, baik lokal maupun nasional.
JEJAK
Seperti payudara beranjak usia
Memaknai jejaknya sendiri
Tak dengar cakap
metafora kepergian, hanya jadi penangkal maujud
Kesedihan bertemu kesedihan
(masa bodoh:lihat)
Waktu datang sekali pergi meninggalkan jejak
Selagi bersayap transparan
Sihir-menyihir keinginan antusias seperti chairil mau
Sendiri sebagai pemula
Kemasi kegembiraan
Sebab kunang-kunang menerangi perutnya
Dan tak member i jalan :
mari lupakan rumah berlampu sebelum
Para penghuni tau, sebentar lagi
Layar tanpa jalan
2010
MARIA DI GARIS PERBATASAN SUNGAI NUN
adalah maria
yang berjanji akan mengembalikan langkah-
langkah yang tak pasti di tiang kayu penyaliban
katanya: memakan tangis bukan persoalan utama
aku semakin bingung
pada kebenaran yang tak pasti
sementara perahu dayung terus melaju
sampai shalawat menemui nabinya
atas namamu : maria
maka aku tak akan layu
meski telah kau minum
darahku
sebagai tumbal kemesraan langit
2010
SILFI, MENDEKAP HALAMAN DERITA
Genit suaramu
Pahatkan di atas roda angin
Main tikam dengan matahari
Terus memburu dan merayu
Merampung air mata di jajah perih
Silfi
Buka kedua tangan sebagai bukti
Dalam ringkik-merangkak
Membuka album masa dan rasa
Sebab cinta telah merayakan wajahmu
Jangan mati mendekap halaman derita
Paseran, 08 Agustus 2008
Sajak-sajak SELENDANG SULAIMAN
Selendang Sulaiman, kelahiran Madura 18-10-1989. Alumnus S Conglet PP Al-in'am Sumenep Madura. Aktif di forum kajian sastra Kutub Yogyakarta. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan kalijagaYogyakarta. aktif berteater di Sanggar NUUN Yogyakarta. karya-karyanya terpublikasikan di berbagai media, diantaranya; suara karya jakarta, Harian Jogja, Koran Merapi, Harian Joglosemar dan terbit dalam antologi Mazhab Kutub Yogyakarta, Antologi Purnama Majapahit Mojokreto. saat ini masih berselingkuh dengan dunia aktivis gerakan mahasiswa, sebagai Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Adab dan Ilmu Budaya.
KUATRIN RINDU MAMA
Mama, sepi nian hari dan malam-malamku,
dimana waktu sudutkan hidup
ke bilik kosong tanpa lubang
hampa sambutmu, sesirna sinar membinar
Mama, aku merindu,
rindu yang membuatku menangis tanpa lenguh.
Rindu wajahmu aura surga sang ibu
Pun bening matamu yang intan berkilau.
Mama, ketika musim dingin menyergap,
tubuhku dingin disaput rindu angin
tidur tak lelap terbayang selimut
di ranjangmu tempat aku memasung dosa
Mama, hasratku memuncak himalaya
Sekedar merapatkan senyum di bibirmu,
Sedang birahiku menguap libido insani
Menembus puing-puing di bilik harmoni
Yogyakarta, 2009
ORNAMEN YANG LAIN
Diksi dan metafor tiada lebih sakral dari air mata.
muntahan kata-kata sebatas sampah basah di wajah rembulan dan
Seleksa pagi akan ranum jika pada sang fajar tersirat sesuit bibirmu.
Yogyakarta, agustus-september ’09
AMNESIA II
Hanya kenang berenang di lautan
Ibu yang mengiris bawang di dapur
Aku yang tertunduk dijatuhkan mendung tebal
Tenggelam dalam putihnya selilit seluet kata
Kata-kata yang kabur lari dari huruf-huruf
Raib menyalip separuh sukma yang maya
Menjelma gugusan raga di tiang kematian
Tanpa nama tanpa rupa tanpa ingatan
Hanya kenang berenang di lautan
Bapak yang meraup keringat di pangkal cangkul
Aku yang meringkuk dirangkul hujan di tengah matahari
Hanyut dalam gelombang kata-kata mendengkur tubuh sendiri
Jogja 2009
EPISODE
Cerpen GAMANG BERET
Gamang Baret, kelahiran Medan 1987. Kegandrungannya terhadap teaterlah yang membuat ia 'terpaksa' menulis.
LELAYANG RINDU
Setangkai janji layu di tanganmu dengan seuntai kata-kata menguncup di pucuk kalimat yang lembab menenun mulutku hingga sekujur tubuh beku. Di ujung dermaga itu kaulepaskan merpati dari sangkar hatimu membubung tinggi, jauh dan semakin jauh dari pandangku . Kepak sayapnya mengusap ketegaran sembari menaburkan keikhlasan di atas harapan yang telah buntu. Sementara itu kutetesi laut dengan air mata hingga mengeruh seiring ombak menari sembari melagukan syair-syair pilu.
Layar perahu itu tergerai, menjala langkahmu untuk mengarungi samudera biru. Dialah cadik yang akan menuntun dan memenuhi masa depanmu. Tak ada lagi yang mampu kuperbuat untuk menunda keberangkatanmu. Sempat kuberbisik kepada angin tentang keluh agar ragu meniup perjalananmu namun tetap juga tak berlaku.
Telah kaurancang kalimat perpisahan di jauh-jauh hari dengan kata maaf ialah akhir kesimpulannya dan tak akan ada lagi yang terselip di bilik-bilik hati yang akan membuatmu kembali; berpaling wajahmu dari teras pandangku meski kupagari dengan air mata namun tetap kaubungkus dengan kata-kata yang semula telah bicara.
Kau jauh dan semakin jauh ditelan layung sore itu hingga hilang di ujung mataku memandang. Dan aku pun membelakangi peristiwa itu dengan riasan air mata yang mengering di wajah pula dengan sekujur kebimbangan yang memberatkan niatku untuk meneruskan perjalanan pulang. Semakin ikal dan juga telah kusut di pikiranku tentang aku yang dirundung beribu galau.
Kala itu, enggan kuperbincangkan impian karena masih rumit mencari jalan keluar. Persoalan rasa yang terus mengganggu. Tanpa sadar aku telah kau titipkan di tempat itu, bekas kita menyulam waktu dengan gurau dan haru. Entah aku harus bagaimana untuk melalui semua ini. Selalu, aku menjumpaimu bermain di halaman dan lamunanku.
Kausajikan sepotong roti coklat dengan segelas susu menjelang malam, sebuah kecup kening dan pelukan hangat dengan selembar kata pengantar tidur meninabobokkanku. Dan ketika jendela pagi terbuka, di sudut timur kau lantunkan salam pagi membangunkan raga yang letih sehabis kelana dalam mimpi. Itulah kenangan yang dinamai masa lalu. Hingga kini, semua itu masih sepat tercicip-ingat.
Aku menoleh, sekedar memastikan awan berebut mendung; rintik-rintik memulai gerimis menghidupkan kembali yang sungguh telah kupaksa mati. Kau begitu sesak dalam pikiranku dan aku pun belum sanggup memperdayanya.
Tetapi kini, di sini aku akan memulainya, inilah hari dimana aku belajar tentang hal-hal yang baru, mempelajari rumus bagaimana melupakan masa lalu serta membakar sobekan perjalanan dari catatan kelabu.
Jakarta, 2011
Gamang Baret, kelahiran Medan 1987. Kegandrungannya terhadap teaterlah yang membuat ia 'terpaksa' menulis.
LELAYANG RINDU
Setangkai janji layu di tanganmu dengan seuntai kata-kata menguncup di pucuk kalimat yang lembab menenun mulutku hingga sekujur tubuh beku. Di ujung dermaga itu kaulepaskan merpati dari sangkar hatimu membubung tinggi, jauh dan semakin jauh dari pandangku . Kepak sayapnya mengusap ketegaran sembari menaburkan keikhlasan di atas harapan yang telah buntu. Sementara itu kutetesi laut dengan air mata hingga mengeruh seiring ombak menari sembari melagukan syair-syair pilu.
Layar perahu itu tergerai, menjala langkahmu untuk mengarungi samudera biru. Dialah cadik yang akan menuntun dan memenuhi masa depanmu. Tak ada lagi yang mampu kuperbuat untuk menunda keberangkatanmu. Sempat kuberbisik kepada angin tentang keluh agar ragu meniup perjalananmu namun tetap juga tak berlaku.
Telah kaurancang kalimat perpisahan di jauh-jauh hari dengan kata maaf ialah akhir kesimpulannya dan tak akan ada lagi yang terselip di bilik-bilik hati yang akan membuatmu kembali; berpaling wajahmu dari teras pandangku meski kupagari dengan air mata namun tetap kaubungkus dengan kata-kata yang semula telah bicara.
Kau jauh dan semakin jauh ditelan layung sore itu hingga hilang di ujung mataku memandang. Dan aku pun membelakangi peristiwa itu dengan riasan air mata yang mengering di wajah pula dengan sekujur kebimbangan yang memberatkan niatku untuk meneruskan perjalanan pulang. Semakin ikal dan juga telah kusut di pikiranku tentang aku yang dirundung beribu galau.
Kala itu, enggan kuperbincangkan impian karena masih rumit mencari jalan keluar. Persoalan rasa yang terus mengganggu. Tanpa sadar aku telah kau titipkan di tempat itu, bekas kita menyulam waktu dengan gurau dan haru. Entah aku harus bagaimana untuk melalui semua ini. Selalu, aku menjumpaimu bermain di halaman dan lamunanku.
Kausajikan sepotong roti coklat dengan segelas susu menjelang malam, sebuah kecup kening dan pelukan hangat dengan selembar kata pengantar tidur meninabobokkanku. Dan ketika jendela pagi terbuka, di sudut timur kau lantunkan salam pagi membangunkan raga yang letih sehabis kelana dalam mimpi. Itulah kenangan yang dinamai masa lalu. Hingga kini, semua itu masih sepat tercicip-ingat.
Aku menoleh, sekedar memastikan awan berebut mendung; rintik-rintik memulai gerimis menghidupkan kembali yang sungguh telah kupaksa mati. Kau begitu sesak dalam pikiranku dan aku pun belum sanggup memperdayanya.
Tetapi kini, di sini aku akan memulainya, inilah hari dimana aku belajar tentang hal-hal yang baru, mempelajari rumus bagaimana melupakan masa lalu serta membakar sobekan perjalanan dari catatan kelabu.
Jakarta, 2011
RE-WORD
Esai ANDREAS CANDRA
Andreas Candra, Lahir di Surabaya,saat ini aktif berteater dan belajar seni peran di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
KOMUNIKASI BUDAYA
Dalam Novel Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata
Menurut Bekti Patria Dwi Hastuti dalam salah satu tulisannya, mengatakan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Keberadaan sastra tidak lepas dari masyarakat dan kenyataan sosial di sekelingnya. Hal itu pun tampaknya ditangkap dengan baik oleh Andrea Hirata sebagai modal utama untuk menulis Novel-novelnya. Melalui gaya bahasa yang ‘renyah’, lebih dari sekedar novel, Andrea seperi sedang menulis sebuah buku untuk bahan Ajar Antropologi, Sosiologi, atau bahkan sejarah.
Hal ini dengan jelas terlihat dari penuturan bahasa yang diraciknya dengan segala persoalan yang menjadi poin of view cerita –bagaimana Andrea Hirata mampu menjadikan tema kopi sebagai sebuah pembahasan untuk mengungkap segala bentuk kebiasaan orang-orang Belitong pada umumnya. Gaya penuturan bahasa semacam itu kemudian mampu membuat pembaca (termasuk saya pribadi) seolah-olah, entah sejak kapan menjadi bagian dari warga Belitong ketika membaca novel tersebut.
Kopi dalam novel ini akhirnya tidak hanya menjadi sekedar minuman yang bisa dengan sederhana orang-orang memaknainya. Dalam novel ini kita akan menemukan sebuah realitas yang sepintas tampak berlebihan tentang Kopi, bagaimana rasa penasarannya seorang isteri tentang rasa kopi dari warung kopi yang katanya lebih enak dari kopi buatannya. Kemudian diam-diam dia membeli kopi dari warung kopi dan membawanya pulang dengan harapan suaminya tidak ngopi di warung. Tapi apa kata suaminya, kopi tersebut tidak seenak kopi buatan warung kopi.
Kabiasaan minum kopi di warung kopi pada masyarakat Belitong didasari oleh budaya lisan (berbicara) yang sangat tinggi sehingga warung kopi menjadi tempat yang istimewa untuk melakukan kebiasaan tersebut. Dari warung kopi itu pula komflik dibangun, dalam hal ini tentang tokoh sentralnya.
Adalah tidak terlalu muskil bagi seorang Andrea Hirata dengan latar belakang pendidikannya (meski bukan dalam ilmu sastra), ia dapat menjelaskan tetek-bengek seputar kopi dengan uraian teori-teori yang unik, seperti teori konspirasi dalam Buku Besar Peminum Kopi yang salah satunya menyebutkan bahwa: Mereka yang memesan kopi sekaligus memesan teh –adalah mereka yang baru gajian. Hal ini tentu sangat sederhana dan semua orang bisa menerimanya sebagai sebuah kenyataan dari sebuah pendapat yang sebelumnya jarang disadari.
Pada bagian lain ia menuliskan sebuah Mozaik tentang Kopi, berdasarkan cara memegang gelas. Ini menggambarkan betapa kedekatan penulis dengan lingkungan sekitar sangat intim. Ia seolah ingin mengatakan bahwa kebudayaan yang melingkupinya bisa ia sampaikan hanya dengan segelas kopi dan bagaimana beragam cara memegang gelas atau cangkir. Dalam hal ini Andrea mengangkat sebuah contoh bagimana sorang Sersan Kepala mampu mengendus kasus pencurian dengan metode tersebut.
Cultural novelis yang disandang oleh Andrea Hirata tidak hanya pada soal budaya yang ia bicarakan dalam novel-novelnya, karakter kepenulisan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan bukan semata karena apa yang ia bicarakan dan meraciknya dengan ringan (tanpa mengabaikan kedalaman intlektualitas), lain dari itu bagaimana ia mencoba menelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi di masyarakat untuk kemudian mengkomunikasikannya kembali lewat struktur dramatik yang sempurna dalam sebuah novel bertemakan perjuangan tersebut.
Komunikasi yang dibangun secara atraktif antara pembaca dengan novel ini semakin terlihat ketika Andrea Hirata pada saat-saat tertentu berganti sosok menjadi tidak ada taubahnya dengan pembaca itu sendiri. Hal-hal seperti ini sering dilakukannya dengan maksud agar apa yang hendak ia sampaikan terserap bukan hanya sebatas teks yang ada, termasuk bagaimana ia membicarakan hal yang kerap ia selubungkan dengan mengajak pembaca berfikir sebagaimana alur pikirannya.
Judul Cinta di Dalam Gelas sendiri sejatinya telah cukup mengambarkan situasi yang hendak ia paparkan dalam novel tersebut –serta-merta kita akan menangkap kesederhanaan dalam suatu jalinan rumah tangga. suatu kesederhanaan yang akhirnya menjadi luar biasa dengan hanya (lagi-lagi) muncul dari kopi. Kopi yang dimaksud di sini tentu bukan semata bentuk materi sebagai sebuah minuman melainkan bagaimana kopi itu menjadi pelantara yang menegaskan suatu perasaan tertentu; bisa cinta, kasih sayang, dan atau perhatian yang dimiliki seorang istri kepada suami dan begitu pun sebaliknya.
Hal-hal yang –sederhana- macam inilah sering kali kita abaikan dan enggan menyadarinya dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana sesuatu yang luar biasa tidak selalu berasal dari kemewahan, tidak selalu dimiliki oleh orang-orang yang dalam hidupnya serba berkecukupan. Dan tampaknya Andrea Hirata, lebih dari sekedar menceritakan sebuah kisah, ia mencoba mengaitkan kondisi carut-marut yang belakangan ini terjadi di Indonesia pada umumnya. Tentu saja dengan teknik kontras –entah sengaja atau tidak- ia menyejikannya.
Persoalan demi persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia kini terasa begitu pelik dan membuat orang-orang ‘gerah’ bukan kepalang, rasanya pun menjadi wajar ketika seseorang harus merasa menyesal lahir di Indonesia. Namun demikian, jika kita mampu menyadarinya, ternyata masih banyak hal-hal yang justru membuat kita akan merasa menyesal jika tidak lahir sebagai orang Indonesia. Dan secara tidak langsung, upaya inilah yang dimaksud oleh Andrea Hirata dengan tema budaya dan kehidupan orang Belitong yang diusungnya.
Pada bagian lain, novel ini bercerita tentang kegemaran orang Belitong bermain catur. Lebih dari sekedar permainan, akhirnya catur pun dianggap sebagai sebuah cara untuk mengangkat derajat dan harga diri apabila dapat mengalahkan lawan mainnya. Dari papan catur itu pula Andrea Hirata menemukan batu loncatan untuk berbicara emansipasi perempuan.
Enong (Panggilan Maryamah), bertekat balas dendam kepada mantan suaminya atas perbuatannya di masa lalu dengan cara mengalahkannya di perlombaan catur 17 Agustus-an. Dengan bantuan Ikal CS dan pecatur dunia Ninochka Stronovsky, akhirnya ia pun berhasil meraih impiannya untuk menjadi sang pemenang. Oleh sebab pertandingan catur pulalah ia mendapatkan nama belakang Karpov karena gaya permainannya dianggap mirip dengan Grend Master Anatoly Karpov. Jadilah ia Maryamah Karpov yang sebelumnya telah menjadi salah satu judul novel pada tatrologi Laskar Pelangi.
Kembali pada soal gender, kepedulian Andrea Hirata terhadap persoalan ini masih dalam konteks budaya Belitong dimana seorang perempuan cendrung tak mendapat ruang gerak aktifitas yang cukup luas. Ini terlihat dari proses pertandingan catur itu sendiri. Namun tak berarti gagasannya tentang gender itu melampaui batasan-batasan seorang perempuan sewajarnya. Sikap yang sepintas ‘liar’ itu tak lain untuk menggambarkan kegigihan perjuangan seorang manusia dalam meraih impiannya.
Budaya Belitong yang melatari tokoh-tokoh dalam novel tersebut memungkinkan Andrea Hirata berbicara lebih banyak pada wilayah perempuan secara kontekstual, seperti munculnya penambang perempuan pertama kali dan pemain catur, yang sebelumnya dirasa sebagai sesuatu yang tabu dan ‘janggal’. Maka untuk selanjutnya menjadi awal sejarah keterlibatan perempuan dalam aktifitas-aktifitas itu.
Kondisi kehidupan rakyat kecil seperti dalam cerita ini kiranya menjadi satu gambaran betapa kesejahtraan belumlah bisa dibilang telah berhasil dan dirasakan oleh bangsa -yang konon kaya- ini.
Akhirnya, seperti pada novel-novel sebelumnya, apresiasi terhadap sebuah kebudayaan dalam upaya melestarikannya juga terasa begitu kental dalam novel ini. Seperti sedang mengingatkan kita kembali ketika beberapa tahun silam sumbangsih Andrea Hirata melalui karyanya terhadap kebudayaan Belitong dihargai dengan diresmikannya Pulau Belitong sebagai kota Laskar Pelangi.
Andreas Candra, Lahir di Surabaya,saat ini aktif berteater dan belajar seni peran di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung.
KOMUNIKASI BUDAYA
Dalam Novel Cinta di Dalam Gelas Karya Andrea Hirata
“Jika kuseduhkan kopi, ayahmu menghirupnya pelan-pelan lalu tersenyum padaku”. Meski tak terkatakan , anak-anaknya tahu bahwa senyum itu adalah ucapan saling berterima kasih antara ayah dan ibu mereka untuk kasih sayang yang balas membalas, dan kopi itu adalah Cinta di Dalam Gelas. (Andrea Hirata. Cinta di Dalam Gelas, Hal: 11)
Menurut Bekti Patria Dwi Hastuti dalam salah satu tulisannya, mengatakan bahwa sastra merupakan cermin masyarakat. Keberadaan sastra tidak lepas dari masyarakat dan kenyataan sosial di sekelingnya. Hal itu pun tampaknya ditangkap dengan baik oleh Andrea Hirata sebagai modal utama untuk menulis Novel-novelnya. Melalui gaya bahasa yang ‘renyah’, lebih dari sekedar novel, Andrea seperi sedang menulis sebuah buku untuk bahan Ajar Antropologi, Sosiologi, atau bahkan sejarah.
Hal ini dengan jelas terlihat dari penuturan bahasa yang diraciknya dengan segala persoalan yang menjadi poin of view cerita –bagaimana Andrea Hirata mampu menjadikan tema kopi sebagai sebuah pembahasan untuk mengungkap segala bentuk kebiasaan orang-orang Belitong pada umumnya. Gaya penuturan bahasa semacam itu kemudian mampu membuat pembaca (termasuk saya pribadi) seolah-olah, entah sejak kapan menjadi bagian dari warga Belitong ketika membaca novel tersebut.
Kopi dalam novel ini akhirnya tidak hanya menjadi sekedar minuman yang bisa dengan sederhana orang-orang memaknainya. Dalam novel ini kita akan menemukan sebuah realitas yang sepintas tampak berlebihan tentang Kopi, bagaimana rasa penasarannya seorang isteri tentang rasa kopi dari warung kopi yang katanya lebih enak dari kopi buatannya. Kemudian diam-diam dia membeli kopi dari warung kopi dan membawanya pulang dengan harapan suaminya tidak ngopi di warung. Tapi apa kata suaminya, kopi tersebut tidak seenak kopi buatan warung kopi.
Kabiasaan minum kopi di warung kopi pada masyarakat Belitong didasari oleh budaya lisan (berbicara) yang sangat tinggi sehingga warung kopi menjadi tempat yang istimewa untuk melakukan kebiasaan tersebut. Dari warung kopi itu pula komflik dibangun, dalam hal ini tentang tokoh sentralnya.
Adalah tidak terlalu muskil bagi seorang Andrea Hirata dengan latar belakang pendidikannya (meski bukan dalam ilmu sastra), ia dapat menjelaskan tetek-bengek seputar kopi dengan uraian teori-teori yang unik, seperti teori konspirasi dalam Buku Besar Peminum Kopi yang salah satunya menyebutkan bahwa: Mereka yang memesan kopi sekaligus memesan teh –adalah mereka yang baru gajian. Hal ini tentu sangat sederhana dan semua orang bisa menerimanya sebagai sebuah kenyataan dari sebuah pendapat yang sebelumnya jarang disadari.
Pada bagian lain ia menuliskan sebuah Mozaik tentang Kopi, berdasarkan cara memegang gelas. Ini menggambarkan betapa kedekatan penulis dengan lingkungan sekitar sangat intim. Ia seolah ingin mengatakan bahwa kebudayaan yang melingkupinya bisa ia sampaikan hanya dengan segelas kopi dan bagaimana beragam cara memegang gelas atau cangkir. Dalam hal ini Andrea mengangkat sebuah contoh bagimana sorang Sersan Kepala mampu mengendus kasus pencurian dengan metode tersebut.
Cultural novelis yang disandang oleh Andrea Hirata tidak hanya pada soal budaya yang ia bicarakan dalam novel-novelnya, karakter kepenulisan yang bisa dinikmati oleh semua kalangan bukan semata karena apa yang ia bicarakan dan meraciknya dengan ringan (tanpa mengabaikan kedalaman intlektualitas), lain dari itu bagaimana ia mencoba menelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi di masyarakat untuk kemudian mengkomunikasikannya kembali lewat struktur dramatik yang sempurna dalam sebuah novel bertemakan perjuangan tersebut.
Komunikasi yang dibangun secara atraktif antara pembaca dengan novel ini semakin terlihat ketika Andrea Hirata pada saat-saat tertentu berganti sosok menjadi tidak ada taubahnya dengan pembaca itu sendiri. Hal-hal seperti ini sering dilakukannya dengan maksud agar apa yang hendak ia sampaikan terserap bukan hanya sebatas teks yang ada, termasuk bagaimana ia membicarakan hal yang kerap ia selubungkan dengan mengajak pembaca berfikir sebagaimana alur pikirannya.
Judul Cinta di Dalam Gelas sendiri sejatinya telah cukup mengambarkan situasi yang hendak ia paparkan dalam novel tersebut –serta-merta kita akan menangkap kesederhanaan dalam suatu jalinan rumah tangga. suatu kesederhanaan yang akhirnya menjadi luar biasa dengan hanya (lagi-lagi) muncul dari kopi. Kopi yang dimaksud di sini tentu bukan semata bentuk materi sebagai sebuah minuman melainkan bagaimana kopi itu menjadi pelantara yang menegaskan suatu perasaan tertentu; bisa cinta, kasih sayang, dan atau perhatian yang dimiliki seorang istri kepada suami dan begitu pun sebaliknya.
Hal-hal yang –sederhana- macam inilah sering kali kita abaikan dan enggan menyadarinya dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana sesuatu yang luar biasa tidak selalu berasal dari kemewahan, tidak selalu dimiliki oleh orang-orang yang dalam hidupnya serba berkecukupan. Dan tampaknya Andrea Hirata, lebih dari sekedar menceritakan sebuah kisah, ia mencoba mengaitkan kondisi carut-marut yang belakangan ini terjadi di Indonesia pada umumnya. Tentu saja dengan teknik kontras –entah sengaja atau tidak- ia menyejikannya.
Persoalan demi persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia kini terasa begitu pelik dan membuat orang-orang ‘gerah’ bukan kepalang, rasanya pun menjadi wajar ketika seseorang harus merasa menyesal lahir di Indonesia. Namun demikian, jika kita mampu menyadarinya, ternyata masih banyak hal-hal yang justru membuat kita akan merasa menyesal jika tidak lahir sebagai orang Indonesia. Dan secara tidak langsung, upaya inilah yang dimaksud oleh Andrea Hirata dengan tema budaya dan kehidupan orang Belitong yang diusungnya.
Pada bagian lain, novel ini bercerita tentang kegemaran orang Belitong bermain catur. Lebih dari sekedar permainan, akhirnya catur pun dianggap sebagai sebuah cara untuk mengangkat derajat dan harga diri apabila dapat mengalahkan lawan mainnya. Dari papan catur itu pula Andrea Hirata menemukan batu loncatan untuk berbicara emansipasi perempuan.
Enong (Panggilan Maryamah), bertekat balas dendam kepada mantan suaminya atas perbuatannya di masa lalu dengan cara mengalahkannya di perlombaan catur 17 Agustus-an. Dengan bantuan Ikal CS dan pecatur dunia Ninochka Stronovsky, akhirnya ia pun berhasil meraih impiannya untuk menjadi sang pemenang. Oleh sebab pertandingan catur pulalah ia mendapatkan nama belakang Karpov karena gaya permainannya dianggap mirip dengan Grend Master Anatoly Karpov. Jadilah ia Maryamah Karpov yang sebelumnya telah menjadi salah satu judul novel pada tatrologi Laskar Pelangi.
Kembali pada soal gender, kepedulian Andrea Hirata terhadap persoalan ini masih dalam konteks budaya Belitong dimana seorang perempuan cendrung tak mendapat ruang gerak aktifitas yang cukup luas. Ini terlihat dari proses pertandingan catur itu sendiri. Namun tak berarti gagasannya tentang gender itu melampaui batasan-batasan seorang perempuan sewajarnya. Sikap yang sepintas ‘liar’ itu tak lain untuk menggambarkan kegigihan perjuangan seorang manusia dalam meraih impiannya.
Budaya Belitong yang melatari tokoh-tokoh dalam novel tersebut memungkinkan Andrea Hirata berbicara lebih banyak pada wilayah perempuan secara kontekstual, seperti munculnya penambang perempuan pertama kali dan pemain catur, yang sebelumnya dirasa sebagai sesuatu yang tabu dan ‘janggal’. Maka untuk selanjutnya menjadi awal sejarah keterlibatan perempuan dalam aktifitas-aktifitas itu.
Kondisi kehidupan rakyat kecil seperti dalam cerita ini kiranya menjadi satu gambaran betapa kesejahtraan belumlah bisa dibilang telah berhasil dan dirasakan oleh bangsa -yang konon kaya- ini.
Akhirnya, seperti pada novel-novel sebelumnya, apresiasi terhadap sebuah kebudayaan dalam upaya melestarikannya juga terasa begitu kental dalam novel ini. Seperti sedang mengingatkan kita kembali ketika beberapa tahun silam sumbangsih Andrea Hirata melalui karyanya terhadap kebudayaan Belitong dihargai dengan diresmikannya Pulau Belitong sebagai kota Laskar Pelangi.
Bahan Bacaan
• Hirata, Andrea. 2010. Cinta di Dalam Gelas. Yogyakarta: Bentang
• WWW. andre-hirata.com
• Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Lomba Mengulas Karya Sastra 2006. Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Kegiatan pembinaan Pendidikan Estetika Jakarta 2007.
• Makalah Nina S. tentang Teori Linguistik
TUKAR PIKIRAN
Sipulan K. Langka
Sipulan K. Langka, Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura.
ANTARA JEMBATAN SURAMADU DAN KERATON YOGYAKARTA
(LAGU SEORANG SKEPTIS karya Matroni el-Moezany)
Bicara Madura, tak cukup rasanya tanpa pula membicarakan geliat kepenyairan di pulau garam itu. Tentu, tak hanya soal Celurit dan Carok yang justru cenderung berkonotasi negatif. Madura, konon sejak dahulu kala telah melahirkan banyak penyair dan atau sastrawan yang kiprahnya begitu penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Sebut saja D. Zawawi Imron, misalnya. Bertolak dari hal demikian, kiranya tidak terlalu berlebihan bila seorang pernah menyatakan bahwa kepenyairan di Madura ibarat tumbuhnya rumput di musim hujan.
Dan sejak sekitar tahun 2000-an, terlebih bagi angkatan penyair muda, Yagyakarta seperti telah menjadi rumah kedua dimana mereka memperjuangkan identitas kepenyairannya. Beberapa dari mereka setidaknya telah mampu berbicara di berbagai media massa dan kegiatan-kegiatan kesusastraan lainnya.
Nah, puisi Lagu Seorang Skeptis yang ditulis oleh Matroni ini secara tidak langsung hendak berbicara hubungan antara kedua daerah tersebut. Barangkali secara pribadi, penyair menyadari betul posisinya di tengah lingkungan seiring perkembangannya –bagaimana kondisi Madura pasca pembangunan jembatan Suramadu dan Yokyakarta yang belakangan dihadapkan pada berbagai persoalan.
Lihat saja, misalnya penggunaan kata "Skeptis" yang ia sandingkan dengan "seorang" pada judul puisi ini, sepintas sebagai upaya untuk membebankan sebuah kondisi yang ia alami sendiri kepada siapa pun yang ia maksud sebagai ‘engkau’ dalam hal ini objeknya. Sementara si "Aku" pada: Aku di sini sendiri/Menyandang jembatan,/ misalnya, lebih merupakan ironi yang memaksa ‘hidup’ entah kepada benda maupun sesuatu yang di luar wilayah manusia.
Hal demikian rasa-rasanya menjadi wajar ketika kekhawatiran dan kegelisahan akan metamorfosis kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pelan-perlahan tampak nyata. Suramadu tentu tidak saja menjadi solusi efektif, dalam hal ini tentang infrastruktur, tidak semata sebagai kebanggaan dan perubahan positif yang ditimbulkannya. Tentu saja, masyarakat harus juga siap dengan persoalan-persoalan yang sudah atau pun masih akan datang, termasuk perubahan dari masyarakat agraris dan nelayan menjadi industri.
Peristiwa demikian jelas butuh disikapi secara bijak dengan tidak melupakan peninggalan leluhur baik berbentuk materi atau pun tradisi-tradisi yang bersifat ‘ajaran’. Engkau ciptakan suatu keindahan dari jauh/Sementara mesin penindas terdengar berderuh/Malam bermandikan cahaya pikir/Kegelapan menyelimuti badan keangkuhan/ kalimat-kalimat ini paling tidak menjadi alat berdamai dengan lingkungan sekaligus sebagai mediasi untuk mencapai penyadaran bersama-sama.
Dalam pada ini, mari singkirkan terlebih dahulu soal egoisme, soal kebenaran tunggal setiap individu; bahwa kita tidak butuh apa pun status, kecuali hidup dalam ketentraman dan damai. Dan Yokyakarta telah membuktikannya, bahwa kearifan lokal lebih dari sekedar urusan politik dan ambisi kekuasaan.
… berjuang membela kerajaanmu/ Perjuangan untuk mempertahankan tanah kelahiran, rumah, dan lingkungan yang berarti sebuah identitas, sebagaimana memperjuangkan identitas kepenyairan, kira-kira.
Sedikit; sebelum saya akhiri, menyangkut penggunaan kalimat-kalimatnya, beberapa hal dalam puisi ini tampak dipaksakan sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Terlepas dari sengaja atau tidak, bait-bait akhir yang menggunakan rima “U” terasa kurang sedap di lidah sementara dari awal dibiarkan bebas begitu saja. Pun pengulangan kata "engkau" yang mengesankan adanya keraguan antara menjadikannya sebagai kalimat awal setelah titik atau sekedar jeda sesaat oleh koma. Kiranya demikian sajalah soal tetek-bengek tata bahasa, kalimat, kata, dan hal-hal lain yang menyangkutnya, bukankah semuanya kembali kepada selera.
Sipulan K. Langka, Pelaku seni, pimpinan teater Kalangka Madura.
ANTARA JEMBATAN SURAMADU DAN KERATON YOGYAKARTA
(LAGU SEORANG SKEPTIS karya Matroni el-Moezany)
Bicara Madura, tak cukup rasanya tanpa pula membicarakan geliat kepenyairan di pulau garam itu. Tentu, tak hanya soal Celurit dan Carok yang justru cenderung berkonotasi negatif. Madura, konon sejak dahulu kala telah melahirkan banyak penyair dan atau sastrawan yang kiprahnya begitu penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Sebut saja D. Zawawi Imron, misalnya. Bertolak dari hal demikian, kiranya tidak terlalu berlebihan bila seorang pernah menyatakan bahwa kepenyairan di Madura ibarat tumbuhnya rumput di musim hujan.
Dan sejak sekitar tahun 2000-an, terlebih bagi angkatan penyair muda, Yagyakarta seperti telah menjadi rumah kedua dimana mereka memperjuangkan identitas kepenyairannya. Beberapa dari mereka setidaknya telah mampu berbicara di berbagai media massa dan kegiatan-kegiatan kesusastraan lainnya.
Nah, puisi Lagu Seorang Skeptis yang ditulis oleh Matroni ini secara tidak langsung hendak berbicara hubungan antara kedua daerah tersebut. Barangkali secara pribadi, penyair menyadari betul posisinya di tengah lingkungan seiring perkembangannya –bagaimana kondisi Madura pasca pembangunan jembatan Suramadu dan Yokyakarta yang belakangan dihadapkan pada berbagai persoalan.
Lihat saja, misalnya penggunaan kata "Skeptis" yang ia sandingkan dengan "seorang" pada judul puisi ini, sepintas sebagai upaya untuk membebankan sebuah kondisi yang ia alami sendiri kepada siapa pun yang ia maksud sebagai ‘engkau’ dalam hal ini objeknya. Sementara si "Aku" pada: Aku di sini sendiri/Menyandang jembatan,/ misalnya, lebih merupakan ironi yang memaksa ‘hidup’ entah kepada benda maupun sesuatu yang di luar wilayah manusia.
Hal demikian rasa-rasanya menjadi wajar ketika kekhawatiran dan kegelisahan akan metamorfosis kebudayaan dan gaya hidup masyarakat pelan-perlahan tampak nyata. Suramadu tentu tidak saja menjadi solusi efektif, dalam hal ini tentang infrastruktur, tidak semata sebagai kebanggaan dan perubahan positif yang ditimbulkannya. Tentu saja, masyarakat harus juga siap dengan persoalan-persoalan yang sudah atau pun masih akan datang, termasuk perubahan dari masyarakat agraris dan nelayan menjadi industri.
Peristiwa demikian jelas butuh disikapi secara bijak dengan tidak melupakan peninggalan leluhur baik berbentuk materi atau pun tradisi-tradisi yang bersifat ‘ajaran’. Engkau ciptakan suatu keindahan dari jauh/Sementara mesin penindas terdengar berderuh/Malam bermandikan cahaya pikir/Kegelapan menyelimuti badan keangkuhan/ kalimat-kalimat ini paling tidak menjadi alat berdamai dengan lingkungan sekaligus sebagai mediasi untuk mencapai penyadaran bersama-sama.
Dalam pada ini, mari singkirkan terlebih dahulu soal egoisme, soal kebenaran tunggal setiap individu; bahwa kita tidak butuh apa pun status, kecuali hidup dalam ketentraman dan damai. Dan Yokyakarta telah membuktikannya, bahwa kearifan lokal lebih dari sekedar urusan politik dan ambisi kekuasaan.
… berjuang membela kerajaanmu/ Perjuangan untuk mempertahankan tanah kelahiran, rumah, dan lingkungan yang berarti sebuah identitas, sebagaimana memperjuangkan identitas kepenyairan, kira-kira.
Sedikit; sebelum saya akhiri, menyangkut penggunaan kalimat-kalimatnya, beberapa hal dalam puisi ini tampak dipaksakan sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Terlepas dari sengaja atau tidak, bait-bait akhir yang menggunakan rima “U” terasa kurang sedap di lidah sementara dari awal dibiarkan bebas begitu saja. Pun pengulangan kata "engkau" yang mengesankan adanya keraguan antara menjadikannya sebagai kalimat awal setelah titik atau sekedar jeda sesaat oleh koma. Kiranya demikian sajalah soal tetek-bengek tata bahasa, kalimat, kata, dan hal-hal lain yang menyangkutnya, bukankah semuanya kembali kepada selera.
Rabu, 30 Maret 2011
WARTA
Dari Redaksi
Salam jabat tangan paling hangat.
Puji sukur atas karunia sehat dan kesempatan yang Tuhan berikan kepada sekalian hambaNya. Puji sukur kepadaNya atas daya-upaya dan kebesaran hati kami dan rekan-rekan untuk menerbitkan Buletin SAJAK ini untuk kali pertama. Selanjutnya kami sampaikan pula permohonan maaf atas keterlambatan ini. Sehubungan dengan satu dua hal, rencana yang sebelumnya terbitan perdana akan dilakukan pada tanggal 15 maret 2011, dengan tidak mengurangi semangat, Redaksi memutuskan untuk menundanya hingga akhir bulan dan itu berlaku pula untuk terbitan-terbitan berikutnya. Sekali lagi mohon maaf dan harap maklum adanya.
Beberapa informasi yang kiranya penting untuk disampaikan bahwa puji sukur Buletin ini ternyata mendapat sambutan dan respon baik dari rekan-rekan di berbagai wilayah, terlebih mereka yang telah sudi mengirimkan tulisannya dan bagi tulisan yang belum dimuat tetap akan dipertimbangkan pada terbitan selanjutnya. Kemudian perlu kami sampaikan juga bahwa isi keseluruhan Buletin ini pada setiap terbitannya oleh Redaksi disebar pula kepada khalayak via email dalam bentuk soft copy, terlebih kepada penyumbang tulisan baik telah dan atu pun belum dimuat. Hal ini dilakukan tidak lain sebagai salah satu upaya Redaksi untuk lebih efektif dalam mempublikasikannya.
Adapun materi Tukar Pikiran yang akan datang adalah Sajak Matroni el-Moezany “LAGU SEORANG SKEPTIS”. Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan. Terima kasih. Mari berjuang!
Salam jabat tangan paling hangat.
Redaksi, 31 Maret 2011
Bona P. Silaban
Salam jabat tangan paling hangat.
Puji sukur atas karunia sehat dan kesempatan yang Tuhan berikan kepada sekalian hambaNya. Puji sukur kepadaNya atas daya-upaya dan kebesaran hati kami dan rekan-rekan untuk menerbitkan Buletin SAJAK ini untuk kali pertama. Selanjutnya kami sampaikan pula permohonan maaf atas keterlambatan ini. Sehubungan dengan satu dua hal, rencana yang sebelumnya terbitan perdana akan dilakukan pada tanggal 15 maret 2011, dengan tidak mengurangi semangat, Redaksi memutuskan untuk menundanya hingga akhir bulan dan itu berlaku pula untuk terbitan-terbitan berikutnya. Sekali lagi mohon maaf dan harap maklum adanya.
Beberapa informasi yang kiranya penting untuk disampaikan bahwa puji sukur Buletin ini ternyata mendapat sambutan dan respon baik dari rekan-rekan di berbagai wilayah, terlebih mereka yang telah sudi mengirimkan tulisannya dan bagi tulisan yang belum dimuat tetap akan dipertimbangkan pada terbitan selanjutnya. Kemudian perlu kami sampaikan juga bahwa isi keseluruhan Buletin ini pada setiap terbitannya oleh Redaksi disebar pula kepada khalayak via email dalam bentuk soft copy, terlebih kepada penyumbang tulisan baik telah dan atu pun belum dimuat. Hal ini dilakukan tidak lain sebagai salah satu upaya Redaksi untuk lebih efektif dalam mempublikasikannya.
Adapun materi Tukar Pikiran yang akan datang adalah Sajak Matroni el-Moezany “LAGU SEORANG SKEPTIS”. Demikian kiranya yang dapat kami sampaikan. Terima kasih. Mari berjuang!
Salam jabat tangan paling hangat.
Redaksi, 31 Maret 2011
Bona P. Silaban
SIULAN
Sajak-Sajak Matroni el-Moezany
Matroni el-Moezany, Penyair keliharan Sumenep, Madura, bergiat di komunitas Kutub Yogyakarta. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (Obsesi Press, 2010) “Madzhab Kutub” (Pustaka Pujangga, 2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini Pengok, Demangan, Yogyakarta.
LAGU SEORANG SKEPTIS
Engkau melangkah jauh, sayang
Engkau mandi keraguan
Aku di sini sendiri
Menyandang jembatan, berbendera masa depan
Di antara mesin-mesin di kota Jogja
Engkau berkerudung putih di kepalamu
Engkau ciptakan suatu keindahan dari jauh
Sementara mesin penindas terdengar berderuh
Malam bermandikan cahaya pikir
Kegelapan menyelimuti badan keangkuhan
Engkau tetap menjadi pelangi melingkari matahari
Tatapanku habis
Terlalu silau melihatmu dari jauh
Di saat seperti itu
Engkau memikirkan sesuatu
Bersama ilmu yang engkau dapatkan dulu
Di dalam berjuang membela kerajaanmu
2011
BELAIAN TAHAJJUD MALAM
Belaian malam menggigil
Mengusap tubuhmu
Mengusap wajahku
Di sajadah panjang kedamaian
Sikap malam begitu sunyi
Memanggilku untuk pergi ke cakrawala
Melihat pesta bintang
Dengan beribu cahaya
Dan senyum manis yang menggetarkan
Aku suka mereka, dia dan aku
Sepasang waktu
Kuajak ia pergi
Mengisi tahajjud malam
Membelam kelam malam
Untuk menutupi pintu semesta
Yang kian hari tambah lebar
Dengan hidup kurang ajar
Padahal aku masih belajar mencintaimu
04 Januari 2011
NASEHAT MALAM
Engkau tinggal separuh perjalanan
Sepantasnya ruang dirimu menjadi rumah kesejukan
Membuat generasi lebih indah
Menanam modal kebermaknaan
Mengisi waktu kehampaan dengan cahaya
Separuhmu jangan sampai larut
Aku berkata, karena aku bagian dari dirimu
Selebihnya engkau berdiri sendiri di tepi sana
Melukis hidupmu lebih indah
Membelanjakan kata untuk masa depanmu
Pengok, 2011
Sajak-sajak Moh. Ghufron Cholid
Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura 69465. Karya-karya lainnya bisa dibaca di mohghufroncholid.blogspot.com dan media online lainnya.
KAU BERBARING ISTIMEWA
: Alm. K. Tajul Anwar
Kau berbaring istimewa
Tanah-tanah meraung doa
Keranda masa kau berikan setia
Rambu jalan bunga-bunga
Kamar Hati,2011
MANDI AIRMATA DOA
: KH. Moh. Idris Jauhari
Mandi airmata doa
Ingin kutuntaskan semua
Manik-manik rasa
Membatik di kain masa
Melukis segala surga
Yang pernah kita tata
Mandi airmata doa
Kumau kau tegak sediakala
Berbagi cahaya ridla
Karunia Maha Cinta
Kamar Hati,13 Februari 2011
MEMAKNAI MAULID NABI
Gunung-gunung shalawat
Menyangga langit nubuat
Ayat-ayat i'tiraf
Adalah burung-burung ababil
Menyulap tentara-tentara gajah
Semisal daun-daun dimakan ulat bergairah
Kamar Hati,12 Rabiul Awal 1432 H
Sajak-sajak Ghulam Sy.
Ghulam Syahril Mubarok, Lahir di Lamongan 17 Maret 1991. Aktif dalam diskusi sastra yang didapuk oleh Sastrawan kota tersebut; sebut saja, Herry Lamongan, Pringgo HR, Alang Khoiruddin dan A. Zaini, juga di Sanggar Sastra Telaga Biru. karya-karyanya berhasil dimuat dalam majalah-majalah lokal seperti, Aliqroh, SENYum, Radar Bojonegoro, RAIB, dll. Yang sempat terbukukan bersama penyair muda Lamongan, Daun-daun Luruh (DKL, 2008), Diktat Kejam (ErEm Press, 2007), dan GSFI: Estuari Sastra Indonesia (Inspirations Publiser, 2011).
CERITA BUSUNG
Tumpukan kitab-kitab di sampingmu itu
Pena biru yang menimpali kitab-kitab
Dan songkok hitam pekat seperti malam kehilanganmu
Semua kau taruh di atas nampan yang longgar
Layaknya penganan enteng saja
Adalah sebuah tanda malam yang kau selingkuhi dengan niatmu
Untuk menumbuhkan sebaris tulisan yang berkilau
Halah, itu kan ceritacerita busung yang kau racik waktu itu
Padahal sebelumnya kau niatkan segala untuk menyemaikan langkah kosongmu
Hidupmu hanyalah keangkuhanmu
Dan senyum yang pernah kau lempar itu,
Juga hanya senyum yang kosong
Yang begitu indah kau rangkai untuk menimpali lelakumu
Kau mulai menuliskan sederet katakata yang terlupa
Meninjuku pada heran yang tak berpulang pada tepi
Sebab, ternyata kau masih juga pongah
Seperti pada ceritacerita busung
KUTUNGGU SAPAMU
Adalah desiran nafas keluhanku
Saat detik tak bisa kutelaah selepas pertemuan itu
Dan pergimu merupakan pesakitanku yang ranum
Jika waktu itu kau kembali tuk melangsungkan percakapan kecil
Mungkin kini aku tak sederita ini, derita yang terangkum dalam album kerinduan
Dari seruanku yang tajam, masih juga hatimu tak tersayat,
Bahkan sampai potongan surat-surat kecil yang menjerit,
Yang dulu sempat kukirimkan padamu itu, kau malah mengabai lebai
Bangunkan hatimu dengan cerita lalu yang mempesona,
Seperti kau menuliskan namamunamaku di sudut batu nisan yang terdiam mematung
Di simpang jl. Ahmad Yani no. 25 kutunggu sapamu
Sapa yang telah lama tak kunjung kau tanam juga
Sapa dzikir rerindu sebagai pelafalan cinta
di ujung rinduku yang mengkerut
Kutunggu sapamu
Langganan:
Postingan (Atom)